Tuesday, February 23, 2016

Filled Under:

Al-Quran di Masa Usman bin Affan

Al-Quran di Masa Sahabat Usman bin Affan Radhiyallaahu 'Anhu - Sejarah Mushaf Usmani - Sahabat Usman dan Al-Quran - Pengertian Mushaf Al-Imam atau Mushaf Usmani - Islam dimasa Utsman Bin Affan Radhiyallaahu `Anhu sudah berkembang luas ke daerah-daerah lain, sehingga pemerintahannya sudah sampai ke Armenia dan dan Tripoli. Kaum muslimin di waktu itu telah berpencar-pencar di Siria, Mesir, Persia, Irak, dan Afrika. Hari demi hari penganut Islam terus bertambah dan dengan demikian, perhatian masyarakat Arab terhadap keberadaan Al-Qur’an juga kian meningkat. Banyak sekali di antara mereka yang belajar Al-Qur’an dengan tekun dan kemudian mengajarkannya kepada anak cucu mereka. Mereka banyak belajar dari para sahabat yang masyhur. Penduduk Syam misalnya, banyak yang belajar kepada Ubay Bin Ka’ab Radhiyallaahu `Anhu, dan mengikuti bacaan beliau. Sedangkan penduduk Kufah banyak belajar dan menggunakan bacaan Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallaahu `Anhu.  Ada pula yang mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallaahu `Anhu. Dengan keadaan yang demikian itu, rupanya menyebabkan timbulnya perselisihan di antara mereka, dan masing-masing merasa bahwa bacaan merekalah yang benar, sedangkan yang lain adalah salah. Terlebih dengan bentuk tulisan Kufi yang dipergunakan pada masa itu yang dinilai membingungkan, rupanya juga memberikan kontribusi besar terhadap perselisihan tersebut. 

Padahal perlu diketahui, bahwa perbedaan bacaan tersebut adalah wajar, karena Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas dan diturunkan dalam “tujuh huruf” (sab`ah ahruf). Sebagaimana firman Allah Subhaanahu Wa Ta`aala dalam Al-Qur`an:

 إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya (
We have sent it down as an Arabic Qur'an, in order that ye may learn wisdom.).” (Q.S. Yusuf: 2).

Dan firman Allah Subhaanahu Wa Ta`aala pula:

بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ

“Dengan bahasa Arab yang jelas ( In the perspicuous Arabic tongue ).” (Q.S. Al-Syu`ara`: 195).

Mengenai maksud “tujuh huruf” ini, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud “tujuh huruf” adalah tujuh bentuk lafal yang berbeda tentang satu kata dan makna yang sama. Dengan kata lain, tujuh huruf di sini dimaksudkan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang masyhur tentang satu kata dan makna yang sama. Pendapat sebagian ulama ini didasarkan atas beberapa hadist, seperti hadist Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Al-Thabari, bahwa Jibril berkata, “Hai Muhammad, bacalah Al-Qur`an atas satu huruf.” Maka Mikail berkata, “Minta tambahlah akannya, sampai tuju hurur (ahruf).

Abdul Mun`im Al-Namir berkata, “Bahwa yang dimaksud dengan “tujuh huruf” dalam hadist ini adalah dialek-dialek atau bahasa-bahasa atau bentuk-bentuk pada sebagian kalimat Al-Qur`an atau pengucapannya. Tidak mesti bahwa satu kata diucapkan dengan bentuk-bentuk yang tujuh. Akan tetapi, maksudnya adalah dialek-dialek atau bentuk-bentuk yang diperbolehkan mengucapkan sebagian kalimat itu adalah dengan salah satu daripadanya yang jumlahnya tujuh.” 

Mengenai masalah ini, Muhammad Abdul `Azim mengemukakan sepuluh hadist yang dipandangnya shahih sebagai dalil tentang turunnya Al-Qur`an dalam tujuh huruf. Diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallaahu `Anhu bahwa ia berkata, “Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Jibril membacakan kepadaku atas satu huruf, maka aku kembali kepadanya, maka aku terus menerus meminta tambah dan ia menambahi bagiku hingga berakhir sampai tujuh huruf.” (HR. Bukhari dan Muslim).
  2. Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Al-Qur`an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah mana yang mudah darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menyikapi adanya perbedaan gaya pembacaan (qiraah) Al-Qur`an yang berbeda-beda ini, dan munculnya berbagai perselisihan di kalangan umat Islam, maka pada sekitar 651 M, khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu merasa perlu untuk kembali menunjuk Zaid bin Tsabit Radhiyallaahu `Anhu sebagai ketua komite revisi salinan Al-Quran bersama para sahabat lain seperti, Abdullah Ibn Zubair Radhiyallaahu `Anhu, Said Ibn `As Radhiyallaahu `Anhu, dan Abdurrahman Ibn Haris Ibn Hisyam Radhiyallaahu `Anhu. Salinan yang dimiliki Abu Bakar Radhiyallaahu `Anhu, yang kemudian disimpan oleh Hafshah, anak perempuan Umar Radhiyallaahu `Anhu dan salah seorang istri Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam, digunakan sebagai patokan. Kitab asli versi pertama tersebut disimpan di Madinah; tiga salinan dari naskah asli ditulis dan dikirim ke tiga kota, yaitu Damaskus, Bashrah, dan Kufah, dan salinan-salinan lainnya dimusnahkan. Namun, kalangan terpelajar modern meragukan apakah Abu Bakar Radhiyallaahu `Anhu pernah menghimpun dan membuat naskah resmi Al-Qur`an, serta menyatakan bahwa Usman Radhiyallaahu `Anhu menemukan beberapa kumpulan naskah Al-Quran di beberapa kota Arab seperti Suriah dan Irak. Namun yang jelas, khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu kemudian menetapkan bahwa naskah yang berada di tangan Hafshah Radhiyallaahu `Anha merupakan naskah resmi yang terjaga otentisitasnya. 
Diriwayatkan dari Anas Radhiyallaahu `Anhu, “Bahwa Hudzaifah Ibn Yaman Radhiyallaahu `Anhu datang kepada Khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu, ia pernah ikut perang melawan penduduk Syam bagian Armenia dan Azerbaijan bersama dengan penduduk Iraq. Hudzaifah sangat terkejut dengan perbedaan bacaan mereka, lalu ia berkata kepada Usman Radhiyallaahu `Anhu, “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani.” Usman Radhiyallaahu `Anhu kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya, “Sudilah kiranya anda mengirimkan lembaran-lembaran yang berisi Al-Qur`an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.” Hafsah kemudian mengirimkannya kepada Usman Radhiyallaahu `Anhu, dan Usman Radhiyallaahu `Anhu memerintahkan Zaid Ibn Tsabit Radhiyallaahu `Anhu, Abdullah Ibn Zubair Radhiyallaahu `Anhu, Sa`ad Ibn `As Radhiyallaahu `Anhu, dan Abdurrahman Ibn Haris Ibn Hisyam Radhiyallaahu `Anhu untuk menyalinnya. Merekapun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. 
Usman Radhiyallaahu `Anhu berkata kepada ketiga orang Quraisy itu, “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid Ibn Tsabit Radhiyallaahu `Anhu tentang sesuatu dari Al-Qur`an, maka tulislah dengan logat Quraisy karena Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa Qurasiy.”
Sebagaimana diterangkan oleh Nur Kholis, para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu ke berbagai daerah. Setidaknya ada tiga perbedaan mengenai hal ini, yaitu: 
  1. Ada yang berpendapat bahwa jumlah mushaf yang dikirim ke daerah-daerah adalah sebanyak tujuh buah mushaf. Masing-masing dikirimkan ke Makkah, Syam Bashrah, Kuffah, yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan, “Aku mendengar Abu Hatim As-Sijistani berkata, “Telah ditulis tujuh buah mushaf Al-Qur`an, lalu dikirimkan ke Makkah, Syam, Bashrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.”
  2. Ada yang berpendapat bahwa jumlah mushaf yang dikirim ke berbagai daerah berjumlah empat buah mushaf Al-Qur`an. Masing-masing dikirim ke Iraq, Syam, Mesir, dan Mushaf Imam. Atau dikirimkan ke Kuffah, Bashrah, Syam, dan Mushaf Imam. Abu `Amr Ad-Dani berkata, “Sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman Radhiyallaahu `Anhu menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu buah, yaitu ke Kuffah, Bashrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.
  3. Ada pula yang berpendapat bahwa mushaf yang dikirimkan ke berbagai daerah berjumlah lima buah mushaf Al-Qur`an. Dan Imam As-Suyuti memegang pendapat ini.
Dapat dijelaskan, bahwa upaya penyusunan atau penyalinan mushaf yang dilakukan oleh khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu ini dimaksudkan untuk:
  1. menyatukan kaum muslimin dalam satu mushaf yang seragam ejaan atau tulisannya, dan tertib susunan ayat-ayatnya.
  2. menyatukan bacaan, meskipun masih ada perbedaan bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan dengan mushaf yang berasal dari Hafshah (istri Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam) tadi. 
Dikemudian hari, mushaf Al-Qur`an yang telah disalin ini dikenal dengan mushaf Al-Imam. Seluruh mushaf-mushaf Al-Qur’an yang lainnya beliau bakar. Tindakan Usman Radhiyallaahu `Anhu ini disepakati oleh semua pihak, termasuk sayyidina Ali Bin Abi Thalib Radhiyallaahu `Anhu kendatipun ada sekelompok kecil golongan Syiah yang tidak mengakui mushaf Al-Imam, bahkan menuduh Al-Qur’an itu tidak lengkap lagi, karena ada beberapa ayat yang berkenaan dengan Ali Radhiyallaahu `Anhu yang dikorup Utsman Bin Affan Radhiyallaahu `Anhu dalam rangka mendukung kekuasaannya. Tuduhan palsu yang bertendensi politis itu sebenarnya tidak benar dan telah dibantah dengan tegas oleh Mullah Muhsin, seorang mufassir Syiah dalam tafsir Shafinya, sebagai berikut:
“Beberapa orang dari golongan kami dan orang-orang Haswiyah melaporkan bahwa di dalam Qur’an ada ayat yang dihilangkan dan diubah. Tetapi kepercayaan kawan-kawan kami yang benar, bertentangan dengan itu, dan inilah yang dianut oleh golongan terbesar”. 
Tuduhan ini sepertinya mengada-ngada saja, sebab sejarah telah mencatat bahwa Utsman Bin Affan Radhiyallaahu `Anhu menyalin kembali mushaf dari tangan Hafshah dan menyarankan agar panitia pembukuan Al-Qur’an itu berpedoman pada:
  1. Bacaan mereka yang hafal Al-Qur`an.
  2. Jika terdapat perbedaan bacaan, hendaknya dituliskan menurut dialek Quraisy
Sebaliknya, andai tuduhan tadi benar, rasanya agak janggal sebab tidak mungkin Ali Radhiyallaahu `Anhu ketika menduduki kursi khalifah ke empat, dia berdiam diri melihat Al-Qur`an yang banyak dirubah dan dikurangi oleh Usman Radhiyallaahu `Anhu, yang sebenarnya sangat merugikan dirinya sendiri dalam masalah kekhalifahan. Namun ternyata, khalifah Ali Radhiyallaahu `Anhu tetap setia mengikuti jejak Usman bin Affan Radhiyallaahu `Anhu, yakni tetap menggunakan mushaf Al-Imam yang telah diupayakan penyusunannya oleh khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu bahkan, hasil jerih payah khalifah Usman Radhiyallaahu `Anhu mendapat persetujuan dari Ali Radhiyallaahu `Anhu, sebagaimana tersirat dalam ucapan khalifah Ali Radhiyallaahu `Anhu yang mengatakan akan berbuat semisal Usman Radhiyallaahu `Anhu (yaitu membukukan Al-Qur`an) sekiranya disaat itu dia yang berkuasa. Khalifah Ali Radhiyallaahu `Anhu berkata:
“Sekiranya di masa Usman Radhiyallaahu `Anhu itu aku yang menjadi penguasa, tentu akau akan berbuat sebagaimana yang telah diperbuat Usman terhadap beberapa mushaf.” 
Akhirnya, demi tegaknya ajaran Islam dan kemurnian kitab sucinya, umat Islam kemudian berusaha keras menghafal, membacanya setiap hari dan mengajarkannya, serta selalu menaruh perhatian terhadap segala upaya yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Mereka mendirikan berbagai pendidikan, lembaga-lembaga, pesantren-pesantren yang secara khusus mempelajari dan mendalami Al-Qur’an sejak bagaimana cara menulis, membaca, mengartikan dan menerjemahkan, tak lain adalah sebagai bukti kongkrit yang sangat berharga dalam rangka langsungnya kebenaran ajaran Al-Qur’an. Kemudian timbul pertanyaan, kenapa umat Islam begitu menaruh perhatian besar terhadap Al-Qur’an dengan berbagai persoalannya? jawaban mengenai pertanyaan ini dapat ditemukan dalam bab tersendiri yang secara khusus mengupas masalah fungsi Al-Qur’an. Insa Allah.



3 komentar: