Thursday, June 16, 2016

Filled Under:

Pengertian Mukasyafah Rububiyah

Pengertian Mukasyafah Rububiyah - Definisi Mukasyafah Rubibiyah - Mukasyafah Rububiyah dalam Ilmu Tasawuf - Dalam artikel sebelumnya yang menjelaskan perihal definisi kasyaf atau mukasyafah (Lihat: Kasyaf dalam Prespektif Tasawuf) telah dijelakan bahwasanya pengertian mukasyafah bila ditinjau dari segi bahasa memiliki arti terbuka tirai yang maksudnya adalah terbukanya segala rahasia alam yang tersembunyi atau terbukanya pengertian-pengertian dan hal-hal yang bersifat ghaibiyah. Dari pengertian inilah maka sebenarnya masalah mukasyafah mempunyai dua pengertian sebagaimana yang diklasifikasikan oleh kalangan sufi, yaitu pertama, mukasyafah rububiyah, dan kedua adalah mukasyafah Ghaibiyah. Pada artikel ini kami hanya akan menyinggung mukasyafah rububiyah. 

Mukasyafah rububiyah adalah terbukanya tirai ke Ilahi an. Pada jenis mukasyafah ini seorang hamba telah dibukakan oleh Allah tirai dan hijab yang menutupiNya. Pada saat inilah seorang hamba telah mengetahui rahasia-rahasia Allah, biidznillah. BBahkan pada puncaknya seorang hamba akan mampu melihatNya dengan mata hatinya. Dalam tafsir al-Qurtubi dijelaskan yang artinya: "Maka terbukalah hijab atau penutup, lalu mereka melihat (dengan mata bashirahnya) kepada Nya. Demi Allah, tidak pernah Allah memberikan kepada mereka sesuatu yang amat menyenangkan mereka kecuali penglihatan itu (mukasyafah).

Mukayafah rububiyah pada tingkat ini jika telah menancap betul pada sanubari seorang hamba yang begitu dekat dengan Allah, maka akan menimbulkan ekses-ekses tertentu yang bisa dilihat dengan nyata. Sebagai seorang hamba yang telah dibukakan rahasia oleh Allah sudah barang tentu seorang hamba yang telah mencapai maqam ini akan mengetahui sesuatu yang dianggap oleh orang awam sebagai rahasia. Hamba-hamba Allah yang telah mencapai mukasyafah ini sudah barang tentu memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kelebihan-kelebihan inilah yang sering juga disebut dengan karamah, yang pada gilirannya nanti banyak orang pun menganggap para wali yang telah sampai pada tingkat mukasyafah sebagai orang yang keramat. Ada banyak kelebihan yang dimiliki orang hamba Allah yang telah sampai pada tingkatan mukasyafah rububiyah ini. Dia dengan izin allah memiliki kelebihan ghaib dan kekuatan supranatural, sehingga dengan demikian tidak jarang bagi mereka mengetahui hal-hal yang berada di luar jangkauan akal. Walaupun kekuatan seperti ini banyak terjadi dan banyak dimiliki oleh hamba-hamba Allah tersebut, yang jelas kelebihan-kelebihan semacam ini  BUKANLAH TUJUAN UTAMA SEORANG SUFI dan bahkan ia merupakan ujian-ujian berat yang menjadi warna dalam setiap perjalanan spiritual mereka. Karena itu, para wali yang telah diberi karamah oleh Allah senantiasa takut akan karamah tersebut dan bahkan mereka terkesan menyembunyikan karamah. Tujuannya karena mereka takut apabila hati mereka hanya terpaut pada karamah saja sehingga mereka tidak lagi melakukan perjalanan spiritual untuk mencapai kedekatan dengan Allah. Seorang sufi yang berhenti perjalanan spiritualnya hanya sampai pada titik punya karamah saja dan menganggap bahwa mempunyai karamah berarti ia telah berhasil dalam perjalanan spiritualnya maka sufi tersebut merupakan sufi yang gagal dalam suluknya. Sebab karamah merupakan ujian tinggi bagi hamba-hamba Allah yang berada di maqam spiritual tinggi. 

Kekuatan dan kelebihan yang dimiliki seorang sufi yang seringkali disebut karamah hanyalah sebagai konsekuensi logis dari seorang hamba Allah yang telah dibukakan olehNya segala rahasia yang ada. Hal ini perlu ditandaskan di sini karena pada tahap masalah mukasyafah ini banyak menimbulkan kesalahan-kesalahan pandangan terhadap ilmu tasawuf. Sekiranya ilmu tasawuf itu identik atau sama dengan ilmu magis sehingga bagi banyak kalangan bahkan mungkin dari para sufi sendiri mempunyai pandangan bahwa seorang wali belumlah bisa dikatakan sebagai wali sebelum dia memiliki kekuatan supranatural yang sanggup mengetahui sesuatu di luar jangkauan akal atau sesuatu yang belum diketahui oleh orang lain. Intinya belumlah dikatakan sebagai wali bila dia belum bisa memprediksi sesuatu yang bakal terjadi. Nah, pandangan semacam ini merupakan sebuah kesalahan besar yang harus diluruskan. Bahwa perjalanan spiritual yang telah dijelaskan dalam ilmu tasawuf merupakan perjalanan lahir batin seorang hamba yang berusaha sebaik mungkin dalam mencontoh kanjeng Rasul Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Karena yang dicontoh dan dijadikan teladan adalah kanjeng Rasul maka dalam pertama kali seorang sufi melangkah, ia harus paham terlebih dahulu apa tujuan dari perjalanan itu. Untuk mengetahuinya maka kita harus mengetahui dari keseluruhan laku spiritual rasulullah itu yang tentu saja memiliki tujuan. Adapun tujuannya adalah melakukan ibadah atau manembah kepada Allah semata dan dengan niat kuat dan ikhlas lillaahi ta'ala serta tanpa motif atau tujuan apapun. Ibadah yang dilaksanakan rasulullah tidak memiliki motif lain selain karena lillahi ta'ala. Beliau tidak manembah karena ingin dipuji, beliau tidak beribadah karena ingin karamah atau kekayaan duniawi. Sekali lagi beliau beribadah karena Allah ta'ala, titik. Nah, karena itulah para sufi dalam laku spiritual mereka senantiasa diarahkan lahir batinnya untuk lillahi ta'ala dalam beribadah. Oleh karena itu, ibadah maupun laku spiritual yang dilakukan tidak lilahi ta'ala dan hanya mengharap karamah saja maka tidaklah hal semacam itu masuk dalam kategori ibadah yang dicontohkan oleh kanjeng Rasul Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. 

Baca Pula Artikel Tasawuf Lainnya:
  1. Pengertian Muraqabah Menurut Para Ulama
  2. Cara Melakukan Taubat Nasuha
  3. Definisi Tasawuf Lengkap
  4. Ikhlas Sebagai Ruhul Amal
  5. Pengertian Muatabah dalam Ilmu Tasawuf

1 komentar: