Friday, January 22, 2016

Filled Under: ,

Perjalanan Spiritual Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Memasuki Kota Baghdad

www.majeliswalisongo.com - Seri Biografi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Bagian II: Perjalanan Penuh Hikmah Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Menuju Baghdad - Perjuangan Spiritual Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani untuk Memasuki Kota Baghdad - Seri kedua biografi Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani ini melanjutkan Seri Pertama yang mengupas tentang kelahiran serta masa kanak-kanak Sayyidi Asy-SYaikh Abdul Qadir Al-Jailani. Adapun Seri Kedua ini akan menceritakan biografi beliau saat beliau melakukan perjuangan spiritual hanya demi memasuki kota Baghdad. Berikut kisah selengkapnya, selamat menikmati.

Diriwayatkan, bahwa Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sampai di Baghdad sekitar tahun 488 hijriyah pada saat usia delapan belas tahun. Sesampainya di kota Baghdad beliau banyak menimba ilmu dari para alim ulama yang banyak menguasai ilmu al-Quran, hingga beliau menguasai ilmu tersebut dengan sangat baik. 

Banyak sekali dikisahkan tentang perjalanan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tatkala sampai di kota Baghdad ini. Salah satunya dikisahkan, bahwa tatkala beliau mencapai pintu gerbang kota Baghdad, nabiyullah Khidir datang dan berusaha menghalangi beliau agar tidak dapat masuk kota Baghdad. Tentu saja hal itu membuat Syaikh merasa heran dan segera bertanya kepada nabiyullah Khidir. Nabiyullah Khidir pun menjelaskan, bahwa hal itu dilakukan atas perintah dari Allah, yang memerintahkan agar Syaikh Abdul Qadir dilarang memasuki kota Baghdad hingga tujuh tahun yang akan datang. 

Setelah mendengar penjelasan dari nabiyullah Khidir, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani kemudian dibawa ke sebuah reruntuhan di tengah gurun pasir. Sesampainya di sana nabiyullah Khidir berkata, “Diamlah engkau di sini dan jangan meninggalkan tempat ini.” Demikianlah, pada akhirnya Syaikh Abdul Qadir dengan sabar dan tabah tinggal seorang diri di reruntuhan tersebut selama tiga tahun. Setiap tahun nabiyullah Khidir datang untuk menjenguk beliau dan berkata kepad abeliau di mana dirinya harus tinggal. Selama beliau dalam keadaan tersebut, pakaian yang biasa dipakai beliau adalah jubah dari bulu domba, kepalanya ditutup sobekan kain, berjalan tanpa alas kaki melewati tempat-tempat berduri di tanah-tanah terjal. Yang demikian itu karena beliau tidak menemukan sandal. Makanan yang dimakan oleh beliau berupa buah-buahan yang masih ada di pohon, sayur-sayuran yang sudah dibuang, dan daun-daun rerumputan yang berada di tepi-tepi sungai, bahkan beliau tidak tidur dan tidak minum air kecuali hanya sedikit sekali.

Pernah beberapa hari beliau tidak makan apa pun. Tiba-tiba seseorang menjumpai beliau yang kemudian memberinya sebuah kantong berisi penuh dengan uang dirham sebagai penghormatan kepada beliau. Lalu beliau mengambilnya sebagian untuk membeli roti, tepung dan kue. Kemudian Syaikh Abdul Qadir al-jailani duduk hendak menikmati makanan tersebut, tiba-tiba ada sebuah kertas jatuh, yang bertuliskan, “Pastinya syahwat itu dijadikan untuk hamba-hambaKu yang lemah, sebagai perantara untuk melaksanakan ketaatan kepada-Ku.” Adapun hamba-hambaKu yang kuat, maka mereka harus tidak mempunyai kesenangan syahwat apapun.” Seketika itu juga beliau meninggalkan makan, mengambil sapu tangan dan meninggalkannya, lalu menghadap kiblat dan mengerjakan shalat dua rakaat, yang kemudian meninggalkan tempat itu. Atas kejadian itu, Syaikh Abdul Qadir sadar bahwa dirinya dijaga oleh Allah, dan selalu dalam pertolongan-Nya.”

Pernah pada suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani tidur di empar istana Kisra di daerah Madain di malam yang sangat dingin, tiba-tiba beliau ihtilam (mimpi hinga keluar mani) dan seketika itu beliau langsung bangun lalu segera pergi ke sungai untuk mandi. Kejadian itu sampai empat puluh kali di malam tersebut. Kemudian beliau naik ke atas pagar tembok emperan karena khawatir tertidur lagi, juga untuk menjaga kelanggengan suci dari hadas. Inilah kebiasaan beliau apabila berhadas, beliau langsung bersuci, lalu shalat sunah dua rakaat, sehingga beliau senantiasa dalam keadaan tidak pernah menanggung hadas dalam arti lain, beliau selalu mempunyai wudhu.

Tiada henti-hentinya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bersungguh-sungguh dalam menjaga wudhu, walaupun beliau sedang berada di tempat terpencil dan penuh kekurangan. Rupanya hal itu telah menjadi kebiasaan beliau bahkan hingga beliau menghadap Allah. terlihat jelas pancaran cahaya kewaliannya, sehingga tampak di wajahnya sifat keluhuran yang cemerlang, menghindari apa yang harus dihindari, bahkan pernah berpura-pura bisu dan gila hingga berkali-kali dibawa ke Kota Marostan untuk diobati. Yang demikian itu rupanya malah membuat termahsyur kewaliannya melebihi ulama-ulama pada zamannya di bidang keilmuan dan amalnya, zuhud serta ma’rifahnya, dan juga fatwa-fatwanya dapat diterima siapa saja, sehingga nama baik reputasi beliau tersebar di mana-mana bagaikan peredaran sinar matahari yang beredar di bumi.”

Mengenai masa-masa sulit ini Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menuturkan sebagai berikut;

“Selama aku tinggal di gurun, di luar kota Baghdad, semua keindahan dunia datang menggodaku. Allah telah memberikan kepadaku kemenangan. Nafsuku mengunjungiku setiap hari dalam wujud dan bentukku sendiri serta meminta kepadaku agar aku sudi menjadi temannya. Ketika aku akan menolaknya, ia hendak menyerangku. Namun Allah memberiku kemenangan dalam perlawanannku dan pada waktunya, aku dapat menjadikan hawa nafsuku sebagai tawananku dan menahannya bersamaku selama bertahun-tahun, serta memaksanya untuk tinggal di reruntuhan di padang pasir. Satu tahun penuh aku telah memakan rerumputan dan akar-akaran yang kutemukan dan aku tidak meminum setetes air pun. Tahun selanjutnya aku makan, tidak minum ataupun tidur. Sepanjang waktu itu, aku hidup dalam reruntuhan dari istana raja-raja kuno Persia di Kurkh. Aku berjalan dengan kaki yang telanjang di atas duri padang pasir dan tidak merasakan sesuatu apapun. Setiap kali aku melihat sebuah karang yang terjal atau jurang, aku memanjatnya. Aku tidak memberikan istirahat satu menit pun atau menyenangkan nafsuku. Pada akhir dari masa tujuh tahun itu, aku mendengar sebuah suara pada suatu malam. “Hai Abdul Qadir, engkau sekarang diizinkan untuk memasuki kota Baghdad.”

Sedangkan versi lain yang ada sedikit perbedaan, yang diriwayatkan oleh Imam Taqqiyuddin Muhammad Al-Waidz Al-Lubnani dalam kitabnya al-Mausum bi raudhoh al-abrar wa mahasin al-akhyar dikisahkan, bahwa ketika Syaikh Abdul Qodir hendak memasuki kota Baghdad, beliau berjumpa dengan nabiyullah Khidir yang berdiri di depan pintu, menghalanginya masuk dan berkata “Aku tidak memiliki perintah yang memperbolehkanmu memasuki Baghdad hingga 7 tahun ke depan.” Syaikh Abdul Qodir akhirnya bermukim di tepian Baghdad dan hidup dari sisa-sisa makanan selama 7 tahun.

Hingga pada suatu malam di tengah hujan deras, sebuah suara berkata kepadanya “Abdul Qodir masuklah ke Baghdad.” Beliaupun memasuki Baghdad dan menuju ke Mushola Syaikh Hammad bin Muslim ad-Dabbas. Sebelum beliau tiba, Syaikh Hammad memerintahkan murid muridnya untuk mematikan lampu dan menutup semua pintu.

Ketika tiba dan mendapati pintu tertutup serta lampu sudah dimatikan, Syaikh Abdul Qodir al-Jailani duduk di depan pintu dan tertidur lalu bermimpi basah. Bangun dari tidurnya beliau langsung mandi besar kemudian  kembali tidur dan kembali bermimpi. Baliau kemudian mandi besar. Hal tersebut berulang sampai 17 kali. Saat subuh tiba, pintu dibuka dan masuklah Syaikh Abdul Qoodir al-Jailani. Syeikh Hammad bangkit menyambutnya, dan memeluknya sambil menangis, kemudian berkata “Anakku Abdul Qodir saat ini negeri ini milik kami dan besok akan menjadi milikmu. Apabila engkau berkuasa kelak, berlaku adilah terhadap orang tua ini.”

Sedangkan dalam riwayat dari Imam Nurruddin Abu Hasan Ali bin Yusuf bin Jarir bin Ma’dhad bin Fadl asy-Syafi’i al-Lakhmi, pengarang kitab Bahjat Al-Asrar dikatakan, “Wahai yang kedatangannya merupakan awal dari kebahagiaan bagi negeri yang kelak menjadi tempat tinggalnya, diikuti awan rahmat yang menutup seluruh daerahnya, berlipat ganda hidayah di dalamnya sehingga para Abdal dan awtad-nya kembali bersinar, utusan-utusan berdatangan mengucapkan selamat sehingga setiap hari di dalamnya merupakan hari besar…..”

Demikianlah perjuangan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam melawan hawa nafsunya selama kurun waktu tujuh tahun hingga akhirnya beliau benar-benar dapat memasuki kota Baghdad. Bagi para salik sudah seharusnya kisah dan penuturan di atas menjadi bahan renungan yang dapat dipetik hikmah dan pelajaran yang sangat berharga. Khususnya yang berkaitan dengan perjuangannya dalam melawan dan menundukkan hawa nafsu yang setiap detik senantiasa berusaha untuk menjatuhkannya dan membuatnya menjadi makhluk rendah di mata Allah. Tentang perjuangan keras ini, Syaikh Abdul Qadir melalui kisah di atas telah memberikan teladan sebagai pribadi ulet, bermental baja dan memiliki keimanan yang amat kuat. Dengan mata batin yang terbuka dan senantiasa terjaga, beliau mengajarkan bahwa menaklukkan hawa nafsu merupakan kewajiban yang mutlak harus dilakukan oleh setiap hamba yang benar-benar mengaku beriman kepada Allah. Dalam segala kondisi, baik itu senang ataupun susah, hawa nafsu tidak boleh sekalipun menjadi penguasa yang menguasai jiwa dirinya, yang leluasa menggerogoti keimanannya, yang dengan begitu mudahnya menundukkan kepalanya yang seharusnya itu merupakan simbol kemuliaan, dan tunduk kepada hawa nafsu sudah pasti merupakan kehinaan. Dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dalam tahap awal “pencarian dan perjuangannya” itu telah mengajarkan bagaimana buasnya hawa nafsu, dan bagaiman cara kita untuk menundukkannya. 

Perjalanan selanjutnya dikisahkan, bahwa setelah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sampai di kota Baghdad, beliau menyaksikan dalam kota tersebut penuh dengan kejahatan dan kesesatan. Manusia benar-benar berada dalam lembah kegelapan. Karena itu beliau kemudian terpaksa mengurungkan niatnya untuk menuntut ilmu di kota tersebut dan segera pergi karena takut hanya akan mencelakakan keimanannya. Namun, ketika beliau sampai di pintu gerbang kota Baghdad, beliau mendengar suara,“Kemana engkau hendak pergi ?” kata suara itu lagi, “Kembalilah, engkau harus melayani orang-orang.”

Syaikh Abdul Qadir kemudian berkata, “Apa yang dapat kupedulikan tentang orang lain? Aku hendak menyelamatkan keimananku.”

Suara itu berkata lagi, “Kembalilah dan jangan pernah merasa khawatir terhadap keimananmu. Tiadak ada sesuatu pun yang akan membahayakanmu.”

Syaikh Abdul Qadir menuturkan kembali. “Aku sungguh tidak dapat melihat orang yang berkata tersebut. Kemudian sesuatu terjadi kepadaku. Aku terputus dari keadaan lahiriyah lalu tenggelam dalam keadaan tafakur. Sampai hari berikutnya, aku memusatkan pikiran pada sebuah harapan dan berdoa kepada Allah agar Dia membukakan selubung untukku sehingga aku tahu apa yang harus aku lakukan. 

Setelah itu aku mengalami berbagai kondisi spiritual yang sangat berat sehingga pada suatu malam aku memohon kepada Allah untuk meringankan apa yang disingkapkanNya kepadaku. Pada hari berikutnya, ketika tengah berkeliling di sebuah pemukiman bernama Mudzaffariyyah, seorang lelaki yang tidak ku kenal sebelumnya kulihat membuka pintu rumahnya dan mempersilakan aku untuk masuk. Ketika sampai di pintu rumahnya, dia berkata, “Katakan kepadaku apa yang engkau harapkan dari Allah? Doa apa yang telah engkau panjatkan kemarin?”

Pada saat itu aku dilanda ketakutan, namun juga diliputi ketakjuban. Aku tidak dapat berkata apapun. Laki-laki itu kemudian memandang wajahku sekali lagi dan menghempaskan pintu dengan kasar, sehingga membuat debu berkumpul di sekelilingku dan menutupi seluruh tubuhku. Aku pun berjalan pergi, sambil tetap bertanya-tanya dalam hati apa yang telah kuminta dari Allah sehari sebelumnya.

Akhirnya, setelah aku mengingatnya aku segera kembali untuk mengatakan kepada laki-laki itu. Namun aku tidak dapt menemukannya, baik rumah ataupun dirinya. Aku sangat khawatir ketika menyadari bahwa dirinya merupakan seseorang yang dekat kepada Allah. Sungguh, akhirnya aku mengetahui bahwa beliau adalah Syaikh Hammad ad-Dabbas, yang telah menjadi guruku.”

Demikianlah perjalanan hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang amat menakjubkan dan penuh dengan hikmah serta pelajaran. Pada akhirnya, beliau menjadi seorang murid yang amat dikasihi oleh Syaikh Hammad ad-Dabbas. Namun tentu saja cara “mengasihi” sang Syaikh tidak seperti kebanyakan orang lain yang mengasihi sesama mereka. Sebab Syaikh Hammad di mata para murid merupakan sosok yang sangat ketat, tegas, dan keras dalam memberikan pendidikan. Mengenai hal ini Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah menuturkan, “Jika saya tidak hadir dalam pelajarannya dan ketika saya datang kepadanya, dia berkata, “Apa alasanmu tidak hadir. Kamu memang seorang murid yang bandel kepada para fuqaha.” Lalu saya diam dan beliau menghukumku dengan hukuman yang berat serta memukuliku. Jika saya masuk sekolah dan saya datang kepadanya, beliau berkata, “Tadi kami dapat kiriman roti dan daging yang banyak. Lalu kami makan bersama dan tidak sempat menyisakan sebagian untukmu.” Karena beliau banyak memberikan hukuman kepadaku, kawan-kawannya merasa iba kepadaku dan ingin merebutku untuk menjadi muridnya. Mereka berkata kepada saya, “Kamu adalah seorang fakih, untuk apa kamu di sini atau berguru saja kepada kami.”

Mendengar hal itu Syaikh Hammad memarahi kawan-kawannya dengan berkata, “Betapa memalukan kalian ini! Aku bersumpah bahwa tidak ada seorang pun seperti dia di antara kalian. Tidak ada seorang pun di antara kalian yang akan naik di atas jari kakinya. Jika kalian berfikir bahwa aku telah mengasarinya dan kalian meniruku, aku melakukannya untuk membawanya kepada kesempurnaan dan mengujinya. Aku melihat dia dalam dunia spiritual sebagai sosok yang keras seperti batu, besar seperti gunung.”

Dalam perjalanannya sebagai seorang penuntut ilmu, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani harus menempuh perjalanan panjang selama kurang lebih 32 tahun, dan pada akhirnya mulai mengajar dan memberikan nasehat pada sekitar tahun 520 hijriyah. Perjalanan panjang yang amat keras dan melelahkan ini digambarkan sebagian kecilnya oleh Ibnu Rajab yang dikutipnya dari perkataan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sendiri. Beliau menuturkan sebagai berikut;

“Saya memakan pohon-pohon berduri, bawang yang telah mati dan daun kering yang berada di pinggir sungai dan parit. Saya mengalami kesulitan ekonomi yang sangat parah di Baghdad. Hingga berhari-hari saya tidak makan, namun saya memakan tumbuh-tumbuhan yang baru bersemi. Pada suatu hari saya keluar karena sangat lapar dan berharap dapat menemukan daun kering atau bawang dan sebagainya yang bisa saya makan. Tidak ada tempat yang telah saya datangi, kecuali orang lain sudah mendahului saya. Jika saya menemukan seseorang, tentulah dia orang miskin yang saling berebut makanan sehingga saya meninggalkannya dalam keadaan malu.”

“Kemudian saya pulang dengan berjalan melewati tengah kota. Di sana tidak saya temui satu tumbuhan pun kecuali sudah didahului oleh orang lain hingga saya sampai di masjid Yasin di pasa Rayyahin Baghdad. Pada saat itu badan saya sudah sangat lemas dan saya sudah tidak kuat lagi untuk berpegangan. Saya kemudian masuk ke masjid dan akhirnya terjatuh di samping masjid. Paada waktu itu saya sudah hampir mati. Tiba-tiba masuklah seorang pemuda non Arab dengan membawa roti lezat dan berdaging. Pemuda tersebut duduk di dekat saya dan makan makanan tersebut. Hampir-hampir setiap dia mengangkat tangannya dengan memegang roti itu, saya membuka mulut saya karena lapar yang begitu sangat hingga saya berusaha untuk menahan semua itu, dengan mengatakan kepada diri saya, “Apa-apaan ini. Tidak ada siapa-siapa di sini kecuali Allah atau Dia akan menetapkan kematian kepada saya.” 

Tiba-tiba pemuda non Arab tersebut menoleh kepada saya dan melihat saya seraya berkata, “Bismillah, ambillah ini wahai saudaraku.” Namun saya segera menolak, lalu dia bersumpah kepadaku. Saya pun tetap menolaknya dan saya juga bersumpah. Tetapi, pada akhirnya saya menerima pemberian itu, lalu saya makan sedikit. Pemuda itu kemudian berkata kepadaku, “Apa pekerjaanmu, dari mana kamu, siapa namamu?”

Saya menjawab, “Saya seorang pelajar dari Jailan.” 

Dia berkata, “Saya juga dari jailan, apakah kamu tahu seorang pemuda dari Jailan bernama Abdul  Qadir?”

Saya menjawab, “Sayalah orangnya.”

Dia kelihatan ragu-ragu, namun kemudian berkata, “Demi Allah, berarti saya telah sampai di Baghdad dan saya masih memiliki sisa bekal. Saya telah bertanya tentangmu, namun tidak seorang pun yang menunjukkanku hingga bekalku habis. Selama tiga hari saya tidak memiliki bekal apa-apa kecuali roti milikmu yang saya bawa ini. Saya hampir mati. Karena itu saya mengambil dari barang titipanmu ini, berupa roti dan daging. Sekarang makanlah karena ini adalah hakmu dan sekarang saya adalah tamumu, setelah sebelumnya kamu menjadi tamuku.”

Saya bertanya kepadanya, “Lalu apa itu?”

Dia menjawab, “Ibumu menitipkan kepadaku untukmu delapan dinar. Saya membeli sesuatu darinya karena terpaksa, maka saya mohon maaf kepadamu.”

Saya kemudian menenangkan dan memaafkan pemuda tadi. Saya juga memberikan kepadanya sisa makanan dan sedikit emas untuk upah. Dia pun menerimanya dan segera pergi.”

Diriwayatkan, Syaikh Mudzafar al-Altsami meriwayatkan Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pernah selama 20 hari aku tidak makan dan tidak menemukan sesuatu yang dapat dimakan. Pada hari ke duapuluh, akupun pergi ke Iwan Kisra untuk mendapatkan pembagian makanan. Setibanya di sana aku mendapatkan 70 orang wali Allah yang sedang menunggu pembagian. Dalam hatiku aku berkata, “Tidak pantas aku mengganggu mereka.” Akupun pergi kembali ke Baghdad. Di sana seseorang dari daerahku mendatangiku dan memberikan sepotong emas kepadaku, seraya berkata, “Ini kiriman dari ibumu.” Setelah akku potong untuk diriku aku bergegas membawa sisa emas tersebut ke tempat tadi dan membagikan kepada 70 orang tersebut. Ketika mereka bertanya, aku menjawab, “Aku mendapatkan ini dari ibuku dan aku tidak melihat bahwa aku berhak mengkhususkan pemberian tersebut untuk diriku sendiri.” Kemudian aku kembali ke Baghdad membeli makanan dari potongan milikku lalu memanggil para fakir miskin dan mekan bersama mereka.”

Diriwayatkan pula dari Syaikh Abdullah Salmi, bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata, “Setelah berhari-hari tidak makan, tiba-tiba ada seorang pria memberikan sejumlah uang kepadaku dan langsung pergi. Uang tersebut kemudian aku belanjakan roti dan aku kembali ke Masjid tempatku berkhalwat untuk mengulang pelajaran. Saat roti tersebut sudah berada di depan mulutku, aku berpikir apakah aku akan memakan roti ini atau tidak. Saat itu pandanganku tertumpu pada sehelai kertas yang tergantung di dinding masjid. Aku ambil kertas tersebut dan di dalamnya terdapat tulisan, Allah telah berfirman di dalam kitab sebelum Al-Quran, “Sesungguhnya dijadikannya syahwat adalah diperuntukkan bagi hambaKu yang lemah untuk membantu mereka taat kepadaKu. Adapun orang yang kuat, maka tiada baginya syahwat dalam dirinya.” Setelah membaca tulisan itu aku ambil sapu tangan lalu meletakkan roti yang hampir aku makan kemudian shalat dua raka’at dan berlalu dari tempat itu.”

Diriwayatkan pula dari Syaikh Umar, bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Abdul Qadir berkata, “Pada permulaan perjalanan spiritualku, berbagai kondisi spiritual mendatangiku. Aku menyambutnya dan tenggelamlah aku di dalamnya. Dalam keadaan tersebut aku biasanya berlari-lari tanpa sadar. Bila aku keluar dari kondisi tersebut, aku akan mendapatkan diriku telah jauh dari tempat aku masuk ke dalam kondisi spiritual tersebut “.

Syaikh Abdul Qadir kembali mengisahkan. “Pernah suatu ketika aku masuk ke dalam sebuah kondisi spiritual di Baghdad dan aku berlari kira-kira satu jam tanpa sadar. Setelah sadar aku mendapati diriku berada di negeri Systar yang berjarak 12 hari perjalanan dari Baghdad. Ketika aku sedang memikirkan perkaraku ini, tiba-tiba ada seorang wanita berkata kepadaku, “Engkau terpesona dengan kondisimu padahal engkau Syaikh Abdul Qadir Jailani.”

Diriwayatkan, bahwa suatu hari ada yang bertanya Syaikh Abdul Qadir al-Jailani. “Kapan anda mengetahui bahwa anda adalah wali Allah” maka beliau menjawab “ Aku berusia 10 tahun ketika meihat para malaikat berjalan di sampingku saat aku berangkat ke sekolah. Dan setibanya di sana para malaikat tersebut berkata “Berikan jalan bagi Wali Allah” sampai aku duduk. Pernah suatu hari seseorang lewat di hadapanku dan dia mendengar para malaikat mengatakan hal tersebut. Dia bertanya kepada salah seorang malaikat tersebut “Ada apa dengan Anak kecil ini ?” Sang Malaikat berkata “Ini sudah ditakdirkan dari Baitul Asyraf (rumah paling mulia). Beliau berkata, “Anak ini akan menjadi orang besar. Dia telah diberi anugerah yang tidak dapat ditolaknya, dibukakan hijabnya, dan telah didekatkan”. Empat puluh tahun kemudian baru aku mengetahui bahwa orang tersebut adalah salah seorang Abdal pada saat itu.”

Dikisahkan dari Syaikh Utsman Shairafi bahwa Syaikh Abdul Qadir bercerita, “Siang mauupun malam aku tinggal di padang pasir, bukan di Baghdad. Sepanjang masa itu para setan mendatangiku berbaris dengan rupa yang menakutkan, menyandang senjata dan melontariku dengan api. Namun saat itu pula aku mendapatkan keteguhan dalam hatiku yang tak dapat aku ceritakan dan aku mendengar suara dari dalam hatiku yang berkata “Bangkit hai Abdul Qadir” telah kami teguhkan engkau dan kami dukung engkau. dan ketika aku bangkit mereka pun kocar-kacir, kembali ke tempat semula.

Setelah itu ada setan lagi datang dan mengancamku dengan berbagai ancaman, akupun bangun dan menamparnya hingga dia lari pontang panting. Kemudian aku baca Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim, dan terbakarlah ia. Di lain waktu setan mendatangiku dengan rupa seorang yang buruk rupa dan berbau busuk seraya berkata “Aku Iblis datang melayanimu karena ku dan para pengikutku telah putus asa terhadapmu. “Pergi” kataku kepadanya. aku tidak percaya dengan apa yang engkau ucapkan. Saat itu muncul tangan dari langit memukul ubun-ubunnya hngga iblis tersebut terbenam ke dalam bumi.

Ke dua kalinya iblis tersebut mendatangiku dengan membawa sebuah bola api untuk menghancurkan aku. Ketika itu datanglah seorang berjubah dengan mengendarai seekor kuda memberikan sebilah pedang kepadaku. Melihat hal ini si iblis mundur, tidak jadi menyerangku.

Ketiga kalinya aku melihat iblis duduk menjauh dariku sambil menaburkan tanah di kepalanya seraya berkata, “Aku putus asa terhadap dirimu wahai Abdul Qodir.” Maka aku jawab, “Aku tetap curiga terhadapmu.” Mendengar jawabanku ini iblis berkata, “Ini lebih dahsyat daripada bala.”

Kemudian disingkapkan kepadaku berbagai jaring. 

“Apa ini?” tanyaku.

“Ini adalah jarring-jarring dunia yang menjerat orang-orang sepertimu,” Jawab sebuah suara.

Akupun berpaling dan melarikan diri darinya. Aku habiskan satu tahun untuk memeraginya hingga aku dapat lepas dari semua itu. Setelah itu disingkapkan kepadaku berbagai sebab yang berhubungan dengan diriku. 

“Apa ini?”, tanyaku. 

“Ini adalah sebab musabab kemakhlukan yang berhubungan dengan dirimu,” jawab sebuah suara kepadaku. 

Akupun menghadapinya selama setahun sampai hatiku lepas dari semua itu.

Tahap selanjutnya disingkapkan kepadaku isi dadaku dan aku melihat hatiku tergantung kepada berbagai hubungan. Aku bertanya, “Apa ini?” 

Suara tersebut menjawab, “Ini adalah kemauan dan plihanmu.”

Jawaban tersebut membuatku menghabiskan waktu setahun lainnya untuk memerangi hingga aku dapat lepas dari semua itu,’. 

Berikutnya disingkapkan kepadaku jiwaku dan aku melihat berbagai penyakit masih bercokol, hawa nafsunya amsih hidup dan setan yang ada di dalamnya masih bercokol, haw nafsunya masih hidup dan setan yang ada di dalamnya masih melawan. Aku memerlukan setahun lainnya untuk memerangi semua itu hingga berbagai penyakit hati hilang., hawa nafsunya mati dan setan berhasil aku tundukkan. Dengan demikian segala sesuatu hanya untuk Allah semata’.

Pada tahap ini aku benar-benar sendiri, semua yang eksis aku tinggalkan di belakang dan aku tetap belum berhasil mencapai junjunganku. Aku seret diriku ke pintu tawakal agar dapat masuk menemuinya. Namun setibanya aku di pintu tersebut, aku mendapatkan kerumunan orang yang membuatku mundur. Begitu pula di pintu syukur, kekayaan, kedekatan, penyaksian (musayhadah) semuanya penuh dengan orang-orang. Akhirnya aku menyeret diriku ke pintu kefakiran. Aku dapati pintu tersebut kosong dari orang-orang, maka aku memasukinya dan mendapatkan di dalamnya berisi semua yang aku tinggalkan dan Harta Karun paling besar dan Kemuliaan Paling Agung (Allah SWT)”.

Syaikh Abu Muhammad Abdullah Al-Jaba’i meriwayatkan, bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “Suatu saat aku duduk di tengah padang pasir, sedang mengulang-ulang pelajaran fiqih dalam keadaan kelaparan. Tiba-tiba muncul suara yang berkata kepadaku.

“Mengapa Aku tidak melihatmu meminjam uang agar engkau dapat belajar fiqih atau menuntut ilmu dengan tenang?”

“Bagaimana aku berhutang sedang aku tidak sanggup untuk melunasinya,” Jawabku.

Kemudian suara tersebut berkata, “Carilah pinjaman dan kami yang akan membayarnya’.

Akupun pergi ke seorang penjual sayur dan berkata kepadanya, “Maukah engkau bertransaksi kepadaku tapi dengan syarat jika aku aku dapat mengembalikan apa yang aku pinjam maka aku akan mengembalikannya kepadamu. Namun jika aku mati dan tidak dapat mengembalikannya maka engkau menghalalkannya untukku. Yang aku minta adalah sepotong roti dan sedikit seledri.”

Penjual tersebut menangis mendengar permintaanku dan berkata, “Sayyidi (tuanku), aku halalkan semuanya untukmu. Ambil saja yang engkau suka.”

Sejak saat itu aku selalu menerima sepotong roti dan seledri. Namun setelah hal tersebut berjalan beberapa lama mulai timbul perasaan tidak enak di hatiku karena ketidakmampuanku membayar si pedagang.

Saat itu sebuah suara berkata kepadaku, “Pergilah ke tempat pedagang tersebut dan bayarkan kepadanya apa yang engkau lihat di atas batu.”

Akupun ke tempat tersebut dan melihat sebongkah besar emas di atas batu yang kemuduan aku bayarkan kepada si pedagang.”

Dalam riwayat yang lain Syaikh Al-Jaba’i meriwayatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir pernah berkata, “Aku sedang bersama orang-orang belajar fiqih ketika suatu saat musim panen tiba. Oranag-orang tersebut biasanya pergi ke Rusytaq untuk meminta sedikit bagian dari panen. Pada suatu hari mereka akan pergi ke Ba’quba dan mengajakku. Akupun pergi bersama mereka.

Di Ba’quba tinggal seorang Shaleh bernama Ya’qubi. Ketika ia melihatku, dia berkata kepadaku, “Murid Al-Haq (yang menginginkan Allah) dan orang-orang saleh tidak pernah meminta sesuatu kepada seseorang.”

Beliau melarangku untuk meminta sesuatu kepada manusia. Dan sejak saat itu aku tidak pernah pergi ke tempat tersebut.

Syaikh Abdul Qadir juga pernah berkata, “Suatu malam aku tenggelam dalam kondisi spiritual yang membuatku berteriak. Saking kerasnya teriakanku, para penjaga sampai terkejut dan mendatangiku. Ketika mendapatiku sedang tersungkur di tanah, mereka segera mengenaliku dan berkata, ini Abdul Qadir Al-Majnun (si gila) yang sengaja mengagetkan kita untuk ingat kepada Allah .”

Dikisahkan pula, suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah digoda oleh setan. Beliau berkata, “Aku pernah melihat suatu cahaya besar yang memenuhi angkasa raya, lalu di sana aku ditunjukkan suatu bayang-bayang yang dapat memanggil namaku. “Wahai Abdul Qadir, ketahuilah aku Tuhanmu! Sesungguhnya aku telah menghalalkan bagimu segala perkara yang haram. 

Lalu akupun berkata, “Berkhianat engkau wahai setan yang terlaknat!

Tiba-tiba dri arah tersebut memancar cahaya yang gelap yang berbentuk asap. Lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abdul Qadir! Selamatlah engkau dari godaanku sebab ketinggian ilmu yang engkau miliki, keeratanmu berpegang kepada Allah, dan sebab kepandaianmu dalam setiap hal yang ada padamu. Padahal melalui godaan seperti ini, aku pernah berhasil menyesatkan tujuh puluh orang ahli thariqah.”

Lalu aku pun berkata, “Hanya kepada Allah lah adanya keutamaan.”
Kemudian ada yang bertanya kepada Syaikh. “Bagaimana anda dapat mengetahui bahwa dia adalah setan?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Karena perkataannya, “Sesungguhnya aku telah menghalalkan kepadamu segala apa yang haram.” (Lihat, Fathur Rabbani).

Sumber: Tasawuf Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani Oleh Kang Zeer El-Watsiy



8 komentar:

  1. alhamdulillah ada bacaan berimbang ketika seseorang mengetik nama abdul qadir al jaelani di google. karena saat ini jika kita ketik nama tersebut di google yang keluar nama sama dengan sosok lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sosok lain siapa ya mbak...soalnya banyak nama yg serupa :D

      Delete
  2. keren blognya khusus. semoga memberi manfaat bagi pembaca dan lainnya.

    ReplyDelete
  3. suatu perjalanan menuju makrifatullah yang dahsyat dan memang sebanding dengan pangkatnya sebagai pemimpin para wali...
    beliau mematikan diri sendiri, artinya mematikan hawa nafsu dengan berbagai tingkatan dan ini sangat susah dijalani kecuali kepada orang terpilih...dan saya yakin kang, kalau kuncinya adalah yakin hanya Allah...semoga kita mendapat kemudahan dan berkah makrifat dalam menuju hakikat yang sesungguhnya,, amin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. sipp...trimksih atas tambahannya mas dinan...sangat manfaat buat menambah pencerahan

      Delete