www.majeliswalisongo.com - Karomah Syaikh Abdul Qadir Bertemu Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi wa Sallam - Dikisahkan, bahwa Qadhi Abu Said al-Muharrami mengajar di sebuah madrasah miliknya sendiri di Babul Azj di Baghdad. Kemudian dia memberikan madrasah tersebut kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani yang mulai mengajar di sana. Dan ketika beliau berusia sekitar lima puluh tahun lebih, beliau telah menjadi seorang ulama besar yang dikenal masyarakat luas, karena kata-kata dan ucapannya yang demikian mempesona dan menakjubkan. Bahkan para ulama seringkali memuji keluasan ilmu beliau dengan berkata, “Maha suci Allah yang telah memberikan kepadanya ilmu yang luas.”
Dijelaskan dalam manaqib beliau, bahwa kesibukan beliau setiap hari adalah mengajar tiga belas macam ilmu, yaitu: Tafsir al-Quran, hadist, ilmu khilaf (perbedaan pendapat ulama), ilmu ushul (baik ushul kalam maupun ushul fiqh), ilmu nahwu, ilmu qira’ah, ilmu ma’ani, ilmu sharf, ilmu arudh (qawafi), ilmu badi’, ilmu bayan, ilmu manthiq, dan ilmu tasawuf (thariqah). Beliau memberikan fatwa mengikuti madzhab Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin hanbal.
Mengenai permulaan mengajarnya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani pernah menuturkan sebagai berikut.
“Pada suatu hari aku melihat Rasulullah sebelum dzuhur. Beliau berkata kepadaku, “Anakku, mengapa engkau tidak berbicara?”
“Ayahku, bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari Baghdad?”
Beliau berkata, “Buka mulutmu.” Lalu beliau meniup 7 kali ke dalam mulutku kemudian berkata,
“Bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah dan peringatan yang baik.”
Setelah itu aku shalat dzuhur dan duduk dan mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku gemetar. Kemudian aku melihat Ali ra. datang dan berkata, “Buka mulutmu.”
Beliau lalau meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulullah.
Beliau lalau meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah, beliau menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada Rasulullah.
Dari mulutku yang terbuka, kemudian keluarlah kata-kata, “Sesungguhnya pikiran adalah juru selam, menyelam jauh ke dalam lautan hati untuk menemukan mutiara kebijakan (hikmah). Ketika dia membawanya ke pantai kemakhlukannya, dia tsumpah dalam bentuk kata-kata dari bibirnya, dan dengan itu dia membeli ketaatan tak ternilai di pasar-pasar ibadah Allah.
Kemudian aku berkata, “Dalam suatu malam, seperti salah satu dari malamku, jika seseorang di antaramu hendak membunuh keinginan-keinginan rendahnya, kematian akan terasa begitu manis sehingga engkau tidak akan dapat merasakan sesuatu yang lain di dunia ini.”
Sejak peristiwa itulah, kemudian Syaikh Abdul Qadir al-Jailani senantiasa berjuang dalam tugas barunya sebagai seorang pendakwah. Beliau juga menuturkan, “Banyak sekali pengetahuan tentang keimanan dan agama dalam diriku. Jika tidak berbicara dan menuangkannya keluar, aku merasa bahwa hal itu akan menenggelamkan diriku. Ketika mulai mengajar, aku hanya memiliki dua atau tiga orang murid. Ketika mereka mendengarku, jumlah mereka bertambah menjadi tujuh puluh ribu orang.”
Dengan jumlah murid yang semakin hari semakin meningkat, madrasah maupun lingkungan sekitar tidak mampu lagi menampung majelis pengajian Syaikh Abdul Qadir. Karena itu, dicarilah tempat yang lebih luas, di mana masyarakat yang kaya membantu dalam penambahan materi sedangkan masyarakat yang miskin membantu dengan tenaga mereka. Demikian pula kaum hawa pun ikut turut serta membantu dalam penambahan bangunan-bangunan baru.
Dikisahkan, suatu ketika saat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berceramah, beliau melihat sebuah cahaya terang benderang yang datang menghampiri. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini dan ada apa?”
“Rasulullah akan datang menemuimu untuk memberikan selamat,” Jawab sebuah suara.
Sinar tersebut makin membesar dan aku mulai masuk dalam kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu aku melihat Rasulullah di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, “Wahai Abdul Qadir.”
Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah, aku melangkah naik ke udara menghampirinya. Beliau meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang dan meniup ke dalam mulutku 3 kali.”
“Mengapa engkau tidak melakukan seperti yang dilakukan Rasulullah?” Tanyaku kepadanya.
“Sebagai rasa hormatku kepada Rasulullah,” Jawab beliau.
Rasulullah kemudian memakaikan jubah kehormatan kepadaku.
“Apa ini ?” tanyaku.
“Ini adalah jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb dalam jenjang kewalian,” Jawab Rasulullah.
Setelah itu, akupun tercerahkan dan mulai berceramah.
Kemudian saat Khidir as. datang hendak mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah membukakan rahasianya dan apa yang akan di katakannya kepadaku.
Aku berkata kepadanya, “Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku Engkau tidak akan sabar kepadaku, maka aku akan berkata kepadamu Engkau tidak akan sabar kepadaku. Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan Muhammadi, maka inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini Ar-Rahman, ini kuda berpelana, busur terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul Qadir meriwayatkan, bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa yang dikatakan oleh kaum Muhammad,” lalu beliau kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai hal tersebut beliau menjawab, “Tadi Abu Abbas Al-Khidir as. lewat maka aku pun berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti.”
Guru dan teladan kita Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata,” seorang Syaikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya yaitu :
Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang Sattar (menutup aib) dan Ghaffar (Maha pemaaf).
Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut
Dua karakter dari Abu Bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
Dua karakter dari Umar yaitu amar ma’ruf nahi munkar
Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
Dua karakter dari Ali yaitu aalim (cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan :
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan. Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.”
Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syaikh Al-Junaid mengajarkan standar Al-Qur’an dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang Syaikh. Apabila ia tidak hapal Al-Qur’an, tidak menulis dan menghapal Hadits, maka dia tidak pantas untuk diikuti.
Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh Mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi :
Karena itulah Syaikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi :
“Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).”
Diriwayatkan, bahwa pernah suatu hari Syaikh Abdul Qadir al-Jailani ditanya tentang suatu masalah karena para ulama Baghdad tidak mampu menjawabnya. Masalah tersebut ialah, ada seorang laki-laki bersumpah kalau istrinya jadi ditalak tiga, ia akan melakukan ibadah kepada Allah sendirian, ibadah yang tidak sedang dikerjakan oleh orang lain pada waktu itu. “Bagaimana agar orang itu dapat selamat dari sumpahnya dan ibadah apa yang harus ia kerjakan?” Seketika itu Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab, “Agar orang tersebut selamat dari sumpahnya, ia harus pergi ke Makkah al-Mukarramah, menunggu sepinya orang tasawuf apabila sudah sepi, kerjakanlah thawaf tujuh kali. Dengan demikian, ia telah lepas dari sumpahnya dan tidak mempunyai tanggungan apa-apa.
Nah untuk fatwa Syaikh Abdul Qadir pada paragraf terakhir ini cukup menarik, karena mungkin pada masanya belum ada ulama yang memberikan fatwa seperti itu, apa mungkin karena bashirohnya beiau ya kang?
ReplyDeleteseorang waliyullah pasti bashirohnya sangat tajam...apalagi seorang sulthanul auliya
Deletesuka merinding kalo baca yg kaya ginian hihi
ReplyDeletesemoga manfaat..
DeleteAmin
DeleteAmin
Deletesangat membantu dalam hal agama mengenal lebih sejarah sejarah dari syeh abdul qadir :)
ReplyDeletealhamdulillah...semoga bermanfaat
Deleteluar biasa sekali ya syeh abdul kodir ini. pengelaman spiritual yang luar biasa.
ReplyDeleteterimakasih mas saya jadi tau. sebelumnya saya tidak tau sama sekali
benar..ila hadhrati sulthanil auliya syaikh abdul qadir al-jailani...al fatihah
Deletesuka sama postingan Kang Zeer ini, setiap kali membaca artikel yang dipublis pasti akan mendapatkan satu pengetahuan baru tentang agama :)
ReplyDeletesemoga bermanfaat mbak :)
Delete