Monday, October 5, 2015

Filled Under:

Makna Lembah-Lembah Dalam Tradisi Ajaran Sufi Attar

Dalam kisah pada bab sebelumnya tentang sekelompok burung yang berusaha mencari Simurgh, dijelaskan bahwa  mereka harus mampu menempuh perjalanan panjang menyeberangi lima lembah dan dua gurun. Ini merupakan simbol penting yang harus dipahami oleh para pencari Tuhan, yaitu bahwa dalam perjalanan spiritualnya, para salik harus melewati tingkatan-tingkatan (maqamat) yang bisa digambarkan sebagai “jalan panjang” yang di ujung jalan tersebut mereka dapat merasakan kedekatan dengan Allah.
1.    Lembah Thalab
Lembah thalab adalah lembah pencarian. Ini merupakan lembah pertama yang harus dilalui seorang salik yang tengah “mencari” dalam perjalanan  spiritualnya. Dalam lembah pencarian ini, seorang salik akan dihadapkan pada aneka ragam godaan duniawi, karena itu ia harus berusaha menaklukan lembah ini.  Para pencari diharuskan berjuang dengan gigih untuk mendapatkan cahaya ilahi yang didambanya dengan menghilangkan hasrat-hasrat duniawinya. Hasrat duniawi ini jangan diartikan dengan meninggalkan dunia sepenuhnya. Pada lembah thalab ini, seorang salik adalah seorang yang tengah berjuang, dan ia masih merasakan “kesakitan dan beban” dalam perjuangannya itu. Ia masih bisa mengeluh, dan ia masih bisa putus asa. Namun inilah serangkaian ujian yang harus dihadapinya apabila dirinya berhasrat untuk mencapai lembah selanjutnya.
Dalam Manthiq al-Thair dijelaskan mengenai lembah Thalab ini sebagai berikut:
“Lembah Pencarian, seratus kesukaran akan menyergapmu; kau akan mengalami seratus cobaan. Di sana, merak langit tak lebih dari seekor lalat. Kau harus melewatkan beberapa tahun di sana, kau harus melakukan upaya-upaya besar, dan harus mengubah keadaanmu. Kau harus meninggalkan segala yang tampak berharga bagimu dan memandang segala milikmu sebagai tak berarti apa-apa. Bila kau yakin bahwa kau tak memiliki suatu apa, kau masih harus melepaskan dirimu dari segala yang ada. Kemudian hatimu pun akan diselamatkan dari kehancuran dan kau akan melihat cahaya suci Keagungan Ilahiat dan hasrat-hasratmu yang sejati akan diperlipatgandakan menjadi tak terbatas. Siapa yang masuk ke sini akan dipenuhi kerinduan sedemikian rupa sehingga ia akan mengabdikan sepenuh dirinya dalam usaha pencarian yang dilambangkan oleh lembah ini. Ia akan minta seteguk anggur pada pelayan pembawa piala, dan setelah ia minum itu, tak ada lagi yang menjadi soal baginya selain mengejar tujuannya yang sejati. Maka ia pun tak akan takut lagi pada naga-naga penjaga pintu yang mau menelannya. Ketika pintu terbuka dan ia masuk, maka ajaran agama, keimanan dan kekufuran semua itu tiada lagi." (Manthiq al-Thair).
Melepaskan kecintaan pada dunia akan membuahkan keselamatan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai gantinya ia akan dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan berlipat ganda. Ikhtiar yang gigih untuk tidak terperdaya dengan hal-hal materiil akan menciptakan ketundukan total pada Kekasih. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Pada level ini, sang salik sudah keluar dari sekat-sekat dikotomis. Ia tidak lagi mempermasalahkan keimanan dan kekufuran, sebab dia telah berada dalam Cinta.
`Attar bertutur, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh kekasih yang setia lebih baik daripada intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita perusak rumah tangga.”
Pada lembah pencarian memang dibutuhkan usaha intensif dalam proses pencerahan spiritual. Perlu kesabaran lebih hingga akhirnya meraih hidayah (petunjuk jalan). Di samping, harus sekuat tenaga menguasai diri dan keluar dari jeratan hidup jasmani, yang menipu dan menyesatkan.
2.    Lembah Cinta (‘Isyq)
Dalam Manthiq al-Thair dijelaskan mengenai keadaan lembah ini sebagai berikut:
"Lembah berikutnya ialah Lembah Cinta. Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala --begitulah dapat kukatakan. Kita sendiri harus menjadi api. Wajah pencinta harus menyala, mengilau dan berkobar-kobar bagai api. Cinta sejati tak mengenal pikiran-pikiran yang menyusul kemudian; dengan cinta, baik dan buruk pun tak ada lagi.
Tetapi akan halnya kau, yang tak acuh dan tak peduli, pembicaraanku ini tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan terkerat oleh gigimu. Siapa yang setia mempertaruhkan uang tunai, bahkan mempertaruhkan kepala, untuk menjadi satu dengan sahabatnya. Yang lain-lain puas dengan menjanjikan apa yang akan mereka lakukan untukmu besok. Bila ia yang memulai perjalanan ini tak mau melibatkan diri seutuhnya dan sepenuhnya, ia tak akan bebas dari duka dan kemurungan yang memberatinya. Sebelum elang mencapai tujuannya, ia gelisah dan sedih. Jika ikan didamparkan ke pantai oleh ombak, ia menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air.
Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, dan pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Pikiran tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta; cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani. Bila kau memiliki penglihatan batin, zarrah-zarrah dari dunia yang kelihatan ini akan tersingkap bagimu. Tetapi bila kau memandang segalanya dengan mata pikiran biasa, kau tak akan pernah mengerti betapa perlunya mencinta. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dapat merasakan ini. Ia yang menempuh perjalanan ini hendaknya punya seribu hati sehingga tiap sebentar ia dapat mengorbankan satu." (Manthiq al-Thair).
Setelah melalui lembah pertama, sang pencari harus menemukan cinta sejati dalam dirinya untuk dapat menghalau tangan hitam akal yang menutupi ketajaman mata batin. Hanya dengan mata batinlah para pencari kebenaran ini dapat melihat realita apa adanya. Mata hati tidak dapat dibohongi. Dalam kecintaannya, seorang pencari haruslah memiliki tekad yang sangat besar untuk mengorbankan apa-apa darinya demi yang diharapkannya yang dicintanya. Keikhlasan dalam berkorban menjadi parameter kebesaran cintanya. Sang penempuh benar-benar berupaya menyucikan diri dengan cinta, demi meraih ketersingkapan batin dari kungkungan bentuk formal yang menyelimuti. Dalam syair mistiknya, seorang sufi wanita besar Rabi`ah al-Adawiyyah bersenandung:
Allah menutup hati makhluk-Nya dengan hijab yang halus
Para ulama’ terhalang karena keluasan ilmunya
Para zahid terhijab karena ambisinya
Dan para hukamâ’ tak mampu menembus karena kehalusan hikmahnya
Orang-orang arif dan para pecinta sejati alpa dari segala dinding
Hal itu karena mereka menempatkan kalbu sucinya dalam cahaya Ilahi
Dari situlah cinta sejati lahir. Yaitu ketika penglihatan batin memperoleh pencerahan dan mampu menembus bentuk zahir segala sesuatu sehingga mencapai hakikatnya yang terdalam. Karena dapat melihat dari arah hakikat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia. `Attar sendiri mengingatkan:
Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung
Lebih lanjut `Attar melambangkan cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran sebagai asap yang mengaburkannya. Sebagai sesuatu yang memancarkan sinar terang benderang, cinta yang sejati dapat menyingkirkan asap, dan menguasai ‘asap” agar ia tidak mendominasi ruang di mana api menyala. Dengan demikian, sesungguhnya ‘Attar seperti hendak mengartikan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal kemudian menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang yang memiliki kecintaan yang begitu besar kepada Allah, tidak memandang segala sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya para salik yang telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang.
`Attar juga pernah mengatakan:
“Dia yang menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap saat ia dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.”
Berdasarkan pada perkataannya di atas ini, kiranya cinta dapat dijelaskan sebagai suatu pengorbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi Ismail kepada perintah Tuhan yang bersedia dijadikan qorban oleh ayahnya Nabi Ibrahhim. Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara ‘idul Adha. Kata-kata qorban berasal dari qurb yang berarti hampir atau dekat. Jadi berkurban dalam cinta berarti berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai tujuan, yaitu Cinta Ilahi.
Salah satu ciri cinta sejati ialah dicapainya penglihatan hati yang terang. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memiliki pandangan yang visioner, dan mampu memahami hakekat terdalam kehidupan. Karena dapat melihat dari arah hakekat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan Pencinta sejati bebas dari kungkungan bentuk-bentuk lahir. `Attar menuturkan kurang lebih sebagai berikut:
Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!   
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas   
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba   
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia   
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula   
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh   
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit   
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung   
3.    Lembah keinsyafan
Lembah keinsyafan merupakan simbol maqam seorang salik yang telah mendapatkan cinta sejati dan ia merasakan kebahagiaan hakiki yang begitu hebat, karena hatinya telah diterangi oleh kebenaran. Di sinilah seorang salik memperoleh “pengetahuan pertama” atau makrifah tahap pertama, di mana ia telah mampu memfokuskan diri untuk menuju Tuhan. Dikatakan sebagai makrifah tahap pertama, karena pada maqam ini pengetahuan yang didapatkannya bukanlah hasil dari peleburan terhadap sifat-sifat kemanusiaannya melainkan merupakan hasil dari terbukanya mata hati dan terpenuhinya hati tersebut dengan cahaya kebenaran. Ibarat seseorang yang berada dalam gelap gulita, maka ia telah berhasil mendapatkan cahaya lentera yang dapat menyinari diri dan sekelilingnya sehingga ia mengetahui sekelilingya, namun belum mampu memahami hakekat terdalam dari dirinya, sekelilingngya, dan lentera itu sendiri.
Dalam Manthiq al-Thair diceritakan mengenai lembah ini sebagai berikut:
"Setelah lembah yang kubicarakan itu, menyusul lembah yang lain - Lembah Keinsafan, yang tak bermula dan tak berakhir. Tiada jalan yang sama dengan jalan ini, dan jarak yang harus ditempuh untuk melintasinya tak dapat diperkirakan. Keinsafan, bagi setiap penempuh perjalanan itu, kekal sifatnya; tetapi pengetahuan hanya sementara. Jiwa, seperti raga, ada dalam perkembangan maju dan mundur; dan Jalan Ruhani itu hanya menampakkan dirinya dalam tingkat di mana si penempuh perjalanan itu telah mengatasi kesalahan-kesalahan dan kelemahankelemahannya, tidur dan kemalasannya dan setiap penempuh perjalanan itu akan bertambah dekat dengan tujuannya, masing-masing sesuai dengan usahanya. Meskipun seekor lalat terbang dengan segala kemampuannya dapatkah ia menyamai kecepatan angin? Ada berbagai cara melintasi Lembah ini, dan semua burung tidaklah sama terbangnya. Keinsafan dapat dicapai dengan beragam cara-sebagian ada yang menemukannya di Mihrab, yang lain pada arca pujaan. Bila matahari keinsafan menerangi jalan ini, masing-masing akan menerima cahaya sesuai dengan amal usahanya dan mendapatkan tingkat yang telah ditetapkan baginya dalam menginsafi kebenaran. Bila rahasia hakikat segala makhluk menyingkapkan dirinya dengan jelas padanya, maka perapian dunia pun menjadi taman mawar. Ia yang berusaha akan dapat melihat buah badam yang terlindung dalam kulitnya yang keras itu. Ia tak akan lagi sibuk memikirkan dirinya sendiri, tetapi akan menengadah memandang wajah sahabatnya. Pada setiap zarrah ia akan dapat melihat keseluruhan; ia akan merenungkan ribuan rahasia yang cemerlang.
Tetapi berapa banyak yang telah tersesat dalam mencari penunjuk Jalan yang telah menemukan rahasia itu! Perlu kiranya mempunyai keinginan yang dalam dan tetap untuk menjadi sebagaimana keadaan kita semestinya buat melintasi lembah yang sulit ini. Sekali kau telah mengenyam rahasia-rahasia itu, maka kau pun akan sungguh-sungguh ingin memahami semua itu. Tetapi apa pun yang mungkin kau capai, jangan sekali-kali lupa akan sabda Quran, 'Adakah lagi yang lain?'
Akan halnya kau yang tidur (dan aku tak dapat memuji kau karena yang demikian), mengapa tak bersedih? Kau yang tak melihat keindahan sahabatmu, bangunlah dan berusahalah mencari! Berapa lama kau akan tinggal tetap sebagaimana keadaanmu sekarang, seperti keledai tanpa tali leher!" (Manthiq al-Thair).
Menurut `Attar di lembah ini seseorang mesti menyibukkan diri dengan hal-hal yang bersifat hakiki dan utama, mengabaikan hal-hal yang bersifat lahiriah atau yang semata-mata menyangkut kepentingan diri sendiri. Seseorang mesti memperbanyak kerja kerohanian, misalnya dengan ibadah, berderma. memperbanyak amal saleh, menyebarkan kegiatan keagamaan dan sebagainya. Kata `Attar, “
“Di lembah ini seseorang mungkin melakukan suatu kegiatan yang bermakna, tetapi ia tidak menyadari.” Kalaupun menyadari ia tidak perlu menyombongkan diri.”
 Lanjut `Attar:
“Lupakan segala yang telah kauperbuat, berikhtiarlah untuk bebas dan cukupkan dengan dirimu sendiri, meskipun kau kadang mesti menangis dan bergembira terhadap hasil-hasilnya. Di lembah keempat ini cahaya kilat kesanggupan, yang merupakan penemuan sumber-sumber dirimu sendiri, kecukupan dirimu, menyala begitu terang dan membara hingga membakar penglihatanmu pada dunia.”
4.    Lembah Pelepasan
“Oh kau yang melangkah jauh dengan penuh kehendak dari jalan sejati, ketahuilah bahwa barangsiapa menginginkan istana raja, yang lebih dirindukan daripada istana manapun di dunia ini, tidak lain harus mendekat padanya.”
Lembah pelepasan adalah maqamat di mana seorang salik yang telah mencapai tingkatan ini harus mampu menghilangkan segala hawa nafsu dan hasrat memiliki materi duniawi secara berlebihan.  Lembah ini tidak sama dengan lembah pertama, karena pelepasan pada lembah pertama (lembah pencarian) belumlah sepenuhnya dikatakan pelepasan, namun lebih cenderung berupa pelepasan dari ikatan hawa nafsu agar dapat meraih cinta hakiki. Sedangkan dalam tingkatan ini kesibukan seorang pencari adalah fokus pada hal-hal yang utama dan hakiki dengan diselimuti oleh kecintaan kepada Allah. Seorang salik pada tingkatan ini harus mampu memposisikan segala materi duniawi berada di belakang pandangannya, sehingga ia tidak menjadi hamba harta melainkan menjadi tuan yang mampu mengontrol kekuasaan materi duniawi sepenuhnya.
Dalam pandangan ‘Attar, melakukan pelepasan dari unsur-unsur kenikmatan duniawi yang seringkali memperdaya merupakan syarat mutlak bagi seorang salik yang hendak menginginkan sampai pada “istana Sang Raja”.  Sebagaimana yang dikatakan olehnya:
“....Sebelum seorang manusia membelenggu hawa nafsu dirinya, bagaimana mungkin ia dapat menemukan jalan menuju kediaman Tuhan yang maha Tinggi?”
Karena itu, seorang salik perlu memahami bahwa dunia beserta isinya adalah fitnah yang melenakan, kecuali diambil dengan niat murni demi mengharapkan kebahagiaan akherat. Karena itu, bekerja dalam dunia ini perlu kiranya dilandasi rasa syukur yang mendalam dengan cara, menggunakan nikmat-nikmat duniawi sebagai sarana pendukung ketaatan, dan mengakuinya dengan sepenuh hati bahwa ia merupakan anugerah dari Sang pemberi Nikmat dan wajib bagi dirinya untuk bersyukur kepada-Nya.
Dalam hal ini, “pelepasan” bisa dikaitkan dengan konsep “zuhud” yang berarti lebih mengutamakan akherat daripada dunia. Namun lebih dari itu, pelepasan mempunyai tujuan yang tidak hanya terhenti pada “pengekangan” semata, namun terus berlanjut untuk mencapai tujuan paling utama yaitu “penyatuan”. karena itu, pelepasan bisa diartikan pula sebagai usaha lepasnya jiwa dari ketergantungan fisik yang tidak kekal. Pelepasan ini berarti, bahwa dalam segala kondisi jasmani yang serba kekurangan dan terikat oleh waktu, jiwa senantiasa kuat, semangat, bersih, dan suci dari noda-noda dosa. Maqam seperti ini dapat kita petik dari kisah hidup seorang sahabat nabi paling utama yaitu Sayyidina Ali yang senantiasa bersemangat dalam beribadah walaupun dirinya tengah terluka akibat perang.  Dan maqam ini yang harus dapat dicapai oleh para salik yang tengah menempuh lembah pelepasan. Sebab sekali lagi, bagaimanapun baiknya kondisi jasmani seseorang, ia adalah penjara yang dapat memenjara jiwa seseorang, dan pada waktu-waktu tertentu ia merupakan salah satu materi duniawi yang dapat memperdaya seorang salik.
Pada lembah ini pula, seorang salik yang telah melakukan pelepasan harus segera memenuhi seluruh ruang jiwanya dengan rasa cinta dan ketauhidan, dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya obyek cinta, dan pandangan dzahir serta batin-nya pun harus mengarah pada Allah semata. Dengan begitu, lembah ini bisa dikatakan sebagai lambang wujud, di mana dalam jagat raya ini hanya ada satu wujud, yaitu wujud Tuhan. Segala wujud yang di alam yang tampak bervariasi ternyata bersumber dari hakikat yang sama. Cinta Yang Satu, rahman dan rahim, telah mengejawentah menjadi semesta kehidupan yang tampaknya terpecah-pecah, tersekat-sekat, saling berlainan, namun pada hakikatnya satu, dan seorang salik yang telah sampai pada maqam ini harus benar-benar mampu mempertebal keimanan dan keyakinan akan hal itu.
Dalam Manthiq al-Thair dijelaskan mengenai lembah ke-empat ini sebagai berikut:
"Kemudian menyusul lembah di mana tak ada nafsu untuk memiliki atau keinginan untuk menemukan. Dalam suasana jiwa yang demikian, angin dingin pun bertiup, begitu hebat sehingga dalam sejenak saja angin itu menimbulkan kerusakan yang luas tak terhingga: ketujuh lautan tak lebih dari sebuah lobang air, ketujuh kaukab hanya setitik bunga api, ketujuh langit hanya sebuah bangkai, ketujuh neraka hanya es yang hancur. Kemudian, sesuatu yang mengherankan, tak masuk akal! Seekor semut sama kuatnya dengan seratus gajah, dan seratus kafilah tewas sementara seekor gagak sedang mengisi temboloknya.
Agar Adam dapat menerima cahaya samawi, barisan malaikat yang berpakaian hijau dicekam duka. Agar Nuh dapat menjadi tukang kayu Tuhan dan membuat perahu, ribuan makhluk tewas di perairan. Puluhan ribu nyamuk menyerang tentara Abrahah agar raja itu tergulingkan. Ribuan bayi mati agar Musa dapat melihat Tuhan. Ribuan orang mengenakan ikat pinggang Nasrani agar Isa dapat memiliki rahasia Tuhan. Ribuan hati dan jiwa terampas agar Muhammad dapat bermikraj suatu malam ke langit. Di Lembah ini tiada apa pun yang baru atau yang lama akan berharga; kau boleh berbuat atau tidak berbuat. Bila kaulihat seluruh dunia terbakar dan segala hati tak lebih dari syisy kabab, itu baru impian saja dibandingkan dengan kenyataan yang sebenarnya. Jika puluhan ribu jiwa harus tenggelam ke lautan yang tak terbatas, itu akan seperti setitik embun belaka. Bila langit dan bumi mesti meledak jadi bagian-bagian kecil, itu tak akan lebih dari setangkai daun yang jatuh dari pohon; dan bila segalanya mesti dimusnahkan, sejak dari ikan hingga bulan, akankah terdapat di dasar sumur kaki seekor semut yang lumpuh? Jika tiada lagi bekas jejak manusia maupun jin, rahasia setitik air, dari mana segala sesuatu terjadi, masih harus direnungkan." (Manthiq al-Thair).
5.    Lembah Penyatuan
Dalam Manthiq al-Thair, secara lengkap dijelaskan mengenai lembah penyatuan ini:
"Kau seterusnya harus melintasi Lembah Keesaan. Di Lembah ini segalanya pecah berkeping-keping dan kemudian menyatu. Segala yang menegakkan kepala di sini menegakkan kepala dari kerah yang satu itu juga. Meskipun kau seakan melihat wujud yang banyak, namun pada hakikatnya hanyalah satu. Semua merupakan esa yang sempurna dalam keesaannya. Dan sekali lagi, yang kaulihat sebagai keesaan tidaklah berbeda dengan yang tampak sebagai banyak. Dan karena Wujud yang kubicarakan itu mengatasi keesaan dan hitungan, jangan lagi memikirkan keabadian sebagai yang dulu dan yang kemudian, dan karena kedua keabadian ini telah lenyap, jangan lagi membicarakannya. Bila segala yang tampak menjadi tiada, apakah lagi yang tinggal untuk direnungkan?" (Manthiq al-Thair).
Lembah penyatuan merupakan simbol maqamat di mana seorang salik telah berhasil lolos sepenuhnya dari cengkraman hawa nafsu dan hasrat keinginan terhadap materi duniawi, dan dengan modal cinta yang menyala-nyala ia berusaha sepenuhnya untuk bersatu dengan Tuhan. Dalam salah satu tulisannya tentang hal ini, ‘Attar pernah berkata dengan menggunakan simbol ngengat:
“....Ngengat ketiga bangkit, ekstase oleh rasa cinta, maka dia melemparkan tubuhnya dengan keras ke dalam api lilin. Dia menggelinding ke depan dan merentangkan sungutnya ke api. Setelah sepenuhnya memasuki pelukan api, anggota tubuhnya berkilauan merah seperti nyala api itu.”
Dalam sebuah syairnya, ‘Attar juga berkata:
“Melalui kesukaran dan kehinaan jiwanya burung-burung itu pun susut Lantas hapus (fana’), sedangkan tubuh mereka menjelma debu.”
Dengan memperhatikan kutipan syiar di atas, bisa dijelaskan di sini bahwa pada lembah penyatuan ini, seorang salik yang telah berhasil menundukkan hawa nafsunya harus mampu melenyapkan penglihatan inderawinya (melakukan fana), yaitu sebuah sifat sebagai manusia biasa dan harus mampu meliputi seluruh jiwanya dengan hakekat ketuhanan, sehingga tiada lagi ia melihat kecuali sebuah alam baru, yang sama sekali berbeda dari alam makhluk. Sebagai akibat dari fana ini adalah ia dapat mencapai baqa (kekal), yang memiliki makna sebagai kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Karena ia telah melakukan fana, maka yang kekal adalah sifat-sifat Ilahiyah. Dengan demikian, antara fana dan baqa harus saling melengkapi, karena tiada berguna pencapaian fana apabila tidak segera dilengkapi dengan baqa.
6.    Lembah Ketakjuban
Dalam Manthiq al-Thair dikisahkan mengenai perihal lembah ketakjuban ini sebagai berikut:
“Setelah Lembah Keesaan menyusul Lembah Keheranan dan Kebingungan, di mana kita menjadi mangsa duka dan kesedihan. Di sana keluhan bagai pedang, dan setiap nafas ialah keluhan pedih; di sana, adalah duka dan ratapan, dan kerinduan yang menyala. Siang dan malam pun serempak. Di sana, adalah api, namun kita merasa tertekan dan tak berpengharapan. Betapakah, dalam kebingungan ini, kita akan meneruskan perjalanan? Tetapi bagi yang telah mencapai keesaan, ia pun lupa akan segalanya dan lupa akan dirinya sendiri. Jika ia ditanya, "Adakah kau, atau tak adakah kau? Apakah kau merasa ada atau tidak? Apakah kau ada di tengah atau di tepi? Apakah kau fana atau kekal?" maka ia akan menjawab dengan kepastian, "Aku tak tahu apa-apa, aku tak mengerti apa-apa. Aku tak sadar akan diriku sendiri. Aku sedang dalam bercinta, tetapi dengan siapa, tak tahu aku. Hatiku penuh dan sekaligus juga hampa cinta." (Manthiq al-Thair).
Lembah ketakjuban merupakan simbol bagi “gerbang keindahan pertama” yang akan dilihat oleh para salik yang telah berhasil mencapai lembah penyatuan. Di mana setelah mereka bersatu, mereka akan menyaksikan keindahan yang oleh ‘Attar dikatakan sebagai “keindahan yang tidak bisa digambarkan.” Ia berkata:
“....tak seorangpun mengetahuinya dan itulah arti sesungguhnya.”
Pada maqam ini, seorang salik berada dalam kondisi kebahagiaan yang begitu hebat, namun masih bingung dan belum memahami sepenuhnya apa yang ia capai dan ia saksikan tersebut, hingga dengan modal keimanan, kesucian hati, kecintaan dan keteguhannya, ia mampu mencapai tangga terakhir berupa makrifat, yang dalam hal ini merupakan “makrifat kedua”. “Kebahagiaan” yang dirasakan oleh para salik yang telah mencapai lembah ini, apabila dilihat dari kacamata dzahir tiada lain berbentuk seperti kesengsaraan yang amat sangat. Namun bagi mereka yang telah mencapai penyatuan, akan merasakan “kebahagiaan” tersebut sebagai sebuah anugerah yang amat besar.
Dalam tulisannya yang lain, ‘Attar menjelaskan pula tentang lembah ma’rifah:
“Lembah ma’rifat tidak memiliki akhir. Tiada jalan lain seperti jalan yang tersembunyi di sana, ataupun jalan di sanam seperti jalan lain di sana, tetapi para pengembara dalam jasad tidak sama dengan pengembara dalam ruh. Jiwa dan raga selamanya dalam keadaan kekurangan atau kesempurnaan sesuai dengan kekuatan dan kelemahan mereka. Maka dari itu, sebagai kebutuhan, jalan ini dibuka kepada setiap orang sesuai dengan kemampuannya terhadap pengungkapannya itu. Di atas jalan ini, yang dilintasi oleh Ibrahim, sahabat Tuhan, bagaimana bisa laba-laba yang lemah menjadi sahabat gajah? Kemajuan setiap orang berjalan sesuai dengan keadaan spiritualnya. Meskipun unggas harus terbang dengan seluruh kekuatannya, dapatkah ia menyamai kesempurnaan angin? Karena, selanjutnya, ada berbagai macam cara untuk melakukan perjalanan. Tak ada dua burung terbang serupa. Masing-masing menemukan caranya sendiri, di atas jalan pengetahuan mistiknya, satu dengan sarana Mihrab dan yang lain melalui berhala-berhala. Ketika matahari ma’rifah bersinar dari langit atas sana, di atas jalan yang paling terkaruniai, masing-masing tercahayai sesuai dengan kemampuannya dan menemukan tempatnya sendiri dalam pengetahuan kebenaran.
Ketika matahari itu menyinarinya, gudang debu dunia ini diubah untuknya menjadi sebuah taman mawar bagian dalam terlihat di bawah kulitnya. Pecinta tidak lagi melihat partikel dirinya, dia hanya melihat sang Kekasih. Ke manapun dia memandang, dia selalu melihat wajah-Nya, dalam setiap atom dia menyaksikan tempat kediaman-Nya. Seratus ribu misteri terungkap kepadanya dari bawah selubung, seterang matahari. Dan ribuan manusia telah tersesat selamanya, bagi orang yang dengan sempurna memahami misteri-misteri ini. Dia harus sempurna, yang akan berhasil dalam pencariannya, yang akan melemparkan diri ke lautan yang tak terkira dalamnya. Jika keriangan rahasia-rahasianya terungkap kepadanya, setiap saat akan melahirkan kerinduan.
Sekalipun kau akan mencapai tahta keagungan, kangan berhenti sesaat pun untuk berkata, “Adakah yang lebih dari ini?” jatuhkan dirimu ke dalam lautan ma’rifah atau jika kau tidak dapat melakukannya, sebarlah debu jalanan ke atas kepalamu. Oh, kau yang masih terlelap, dan tidaklah penting untuk ucapan selamat, mengapa tak kau siapkan perkabungan? Jika kau belum mencapai keriangan dalam kesatuan dengan sang Kekasih, setidaknya bangkitlah dan siapkan tanda-tanda perkabungan untuk perpisahanmu dengan-Nya. Jika kau belum pernah memandang kecantikan sang kekasih, bangkitlah, jangan terdiam kelu, tetapi carilah misteri-misteri yang ditakdirkan untukmu, dan jika karena kau tidak mengenal mereka, carilah mereka dalam rasa malumu.”
7.    Lembah Kebinasaan atau kematian
Lembah kebinasaan merupakan simbol pencapaian seorang salik yang mampu mencapai keabadian. Ia telah terkunci pada maqam ini, dan dengan kuasa Allah mustahil ia dapat turun derajat pencapaiannya. Karena pada maqam ini tiada sesuatu selain Tuhan dapat memperdaya dan mengalahkan dirinya. Pada maqam ini, seorang salik benar-benar telah menjadi seorang arif (ahli makrifat)  yang mengetahui secara jelas realita ciptaan-Nya. Dengan begitu kearifan akan menyertai kehidupannya. Kearifan merupakan hasil yang diperoleh seseorang setelah memperoleh penglihatan batin yang terang, di mana ia mengenal dengan pasti hakikat tunggal segala sesuatu. Kearifanlah yang akan melestarikan kesadaran ilahiyahnya dari kealpaan jiwa berikut kelemah-lemahannya yang merintangi. Itu sebabnya mengapa kearifan tidak bisa disamakan dengan pengetahuan biasa. Pengetahuan biasa bersifat sementara, kearifan ialah pengetahuan yang abadi, sebab isinya ialah tentang Yang Abadi.
Dalam Manthiq al-Thair dikisahkan perihal lembah ke-tujuh ini, sebagai berikut:
"Terakhir dari semua itu menyusul Lembah Keterampasan dan Kematian, yang hampir tak mungkin diperikan. Hakikat Lembah ini ialah kelupaan, kebutaan, ketulian dan kebingungan; seratus bayang-bayang yang melingkungimu menghilang dalam sepancar sinar surya samawi. Bila lautan kemaharayaan mulai bergelora, pola pada permukaannya pun kehilangan bentuknya; dan pola ini tak lain dari dunia kini dan dunia nanti. Siapa yang menyatakan bahwa dirinya tak ada mendapat keutamaan besar? Titik air yang menjadi bagian dari lautan raya ini akan tetap tinggal di sana selamanya dan dalam kedamaian. Di laut yang tenang ini, kita pada mulanya hanya akan mengalami kehinaan dan keterbuangan; tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita akan memahaminya sebagai penciptaan, dan banyak kerahasiaan akan tersingkap bagi kita.
Banyak makhluk telah salah mengambil langkah pertama dan karena itu, tak dapat mengambil langkah kedua --mereka hanya sebanding dengan barang-barang tambang. Bila kayu cendana dan duri-duri menjadi abu, keduanya tampak sama --tetapi mutu keduanya berbeda. Barang najis yang dimasukkan ke dalam air-mawar akan tetap tinggal najis karena sifat-sifat dasarnya semula; tetapi barang suci yang dijatuhkan ke lautan akan kehilangan wujudnya yang tersendiri dan akan menyatukan diri dengan lautan itu dengan segala geraknya. Dengan berhenti ada secara terpisah ia akan mendapatkan keindahannya. Ia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikiran tak dapat membayangkannya." (Manthiq al-Thair).
Ketika sampai pada maqam ini, sang pencari akan menemukan dan memahami dirinya secara utuh. Yang ditemukannya hanyalah dirinya dan hakikat dirinya. Setelah tahap ini sang pencari akan menemukan Simurgh yang tak lain adalah hakikat dirinya sendiri. Manunggaling kawula Gusti atau Unio-mystica, dan wahdatul wujud mempunyai pengertian yang mirip bahkan sama dengan Fana’ , yakni persatuan mistik. Keadaan ini disusul dengan baqa’, yaitu satu kondisi dimana eksistensi salik telah tenggelam dalam diri Tuhan. Pada maqam ini, dia akan mengenal dirinya yang hakiki, dirinya yang universal, dan dengan demikian mengenal sungguh-sungguh asal kerohaniannya.
`Attar bersyair indah:
Melalui kesukaran dan kehinaan jiwanya burung-burung itu pun susut   
Lantas hapus (fana’), sedangkan tubuh mereka menjelma debu
Setelah dimurnikan maka mereka pun menerima hidup baru
Dari limpahan Cahaya Tuhan di hadirat-Nya
Sekali lagi mereka menjadi hamba-hamba-Nya dengan jiwa segar
Sekali lagi di jalan lain mereka binasa dalam ketakjuban
Perbuatan dan diam mereka di masa lalu telah dienyahkan
Dan disingkirkan dari lubuk hati serta dada mereka
Matahari Kehampiran bersinar terang dari diri mereka
Jiwa mereka diterangi semua oleh cahanya
Dalam pantulan wajah tiga puluh (Simurgh)
Mereka lantas menyaksikan wajah Simurgh yang sebenarnya   
Apabila mereka memandang, yang tampak hanya Simurgh:
Tak diragukan Simurgh ialah tiga puluh ekor burung
Semua bingung penuh keheranan, tak tahu apa mereka ini atau itu.
Mereka memandang diri mereka tak lain adalah Simurgh.

Pada bagian lain `Attar menyatakan:
Bebaskan dirimu dari segala yang kaumiliki
Campakkan semua dari sisimu satu demi satu
Lantas asingkan dirimu secara rohani dari dunia
Apabila batinmu telah menyatu dengan kefakiran
Kau akan bebas dari kebaikan dan keburukan
Dan jika kebaikan dan keburukan telah kaulalui
Kau akan menjadi seorang pencinta

0 komentar:

Post a Comment