Sunday, September 27, 2015

Filled Under:

Metode Dakwah Sunan Bonang dan Walisongo

Tembang tombo ati adalah sebuah maha karya Walisongo yang mencerminakn metode dakwah mereka dalam menyebarkan Islam di bumi nusantara khususnya bumi jawa. Tembang tombo ati hanyalah salah satu dari sekian karya yang bertujuan untuk memberikan hidup bagi kaum muslimin yang masih “berumur jagung” kala itu. Untuk itu, sub bab ini lebih memfokuskan diri untuk membicarakan lebih lanjut metode dakwah Sunan Bonang dan Walisongo agar setidaknya dapat memberikan pelajaran berharga bagi kita semua.  

Metode Dakwah Sunan Bonang dan Walisongo
Metode Dakwah Sunan Bonang dan Walisongo
Dalam sejarah dikatakan, di Jawa hukum Islam mulai dijalankan dengan sungguh-sungguh yaitu pada waktu berkuasanya kerajaan Demak dengan raja pertamanya raden Patah. Menurut budayawan WS Rendra dalam sebuah orasi budaya Megatruh, “Salokantara” yang dianggap dikarang oleh Raja Jayalengkara dan “Jugul Muda” merupakan dua kitab undang-undang Demak yang jelas mempunyai landasan syariat islam. Dan Walisongo sebagai ulama sentral saat itu memegang peranan yang sangat penting bahkan bisa dikatakan melebihi peranan raja Demak. Sebab mereka dianggap sebagai orang yang dituakan, yang dijadikan rujukan ilmu-ilmu Islam, dan wali Allah yang telah mencapai maqam tinggi.

Selain itu, mereka juga sering dikeramatkan, bahkan kisah-kisah irasional tentang kehidupan mereka sangat banyak bahkan melebihi bukti-bukti otentik yang ada. Ini tentunya mengindikasikan adanya pemuliaan yang berlebihan yang dilakukan masyarakat Jawa terhadap mereka. Isyarat kuat bahwa mereka merupakan penyebar syariat Islam bisa ditengok dari Primbon karya sunan Bonang. Ajaran sunan Bonang kerap kali disampaikan dengan pesan-pesan simbolik yang harus ditafsirkan secara jernih.Dan ajaran sunan Bonang itu sendiri cukup untuk mewakili ajaran Walisongo lainnya.
Menurut Teguh, M.Ag dalam Moral Islam dalam Lakon Bima Suci,  dakwah Sunan Bonang dan sebagian besar Walisongo adalah dakwah kultural. Semboyan yang mereka usung adalah “tut wuri hangiseni” yang berarti dalam berdakwah, mereka selalu memanfaatkan kultur Jawa. Peluang-peluang yang ada mereka pergunakan dengan sebaik-baiknya sehingga terciptalah perpaduan antara Jawa dengan Islam.  Seperti misalnya Sunan Bonang yang memanfaatkan gending Jawa, kebiasaan ataupun kesenangan orang Jawa, suluk atau tembang tamsil, wayang, dan sebagainya. Dengan kata lain secara konseptual metode dakwah Sunan Bonang sendiri dan juga Walisongo lainnya biasa disebut dengan istilah ”Mau’idzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan.” Metode ini biasa digunakan untuk tokoh-tokoh khusus, misalnya raja, bangsawan, orang kaya, tuan tanah, maupun tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dasar metode yang dipakai mereka adalah:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)

Pada masa itu beliau dengan begitu cerdasnya mengubah gending Jawa yang sarat dengan estetika Hindu dengan nuansa baru termasuk dengan menambahkan instrumen ‘Bonang’ yang menurut beliau lebih dekat dengan nuansa Islam. Sehingga gending menjadi sebuah media untuk mengiringi dzikir, puji-pujian, ataupun tembang-tembang yang berisi pengagungan kepada Allah `Azza wa Jalla dan shalawat kepada Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam. Ini untuk mendorong kecintaan masyarakat Jawa kepada Allah  `Azza wa Jalla dengan tanpa memakai paksaan. Nuansa baru yang beliau ciptakan ini mempunyai tujuan agar timbul kecintaan masyarakat Jawa terhadap kehidupan transedental. Dalam tembang tombo ati itupun juga sarat dengan makna ini. Ini mengindikasikan bahwa Sunan Bonang mempunyai beberapa misi utama yakni menumbuhkan rasa kecintaan masyarakat Jawa kepada Allah `Azza wa Jalla dan sekaligus juga menumbuhkan rasa takut kepadaNya. Bila rasa takut ini telah tertanam dalam hati masyarakat, maka selanjutnya mereka akan lebih terbuka dan mudah menerima ajaran-ajaran Islam lainnya. 

Di sisi lain, tujuan dakwah beliau agaknya juga untuk membantu problema masyarakat yang berkaitan dengan ‘kekotoran jiwa’. Ini mengingat bahwa masyarakat yang dihadapi beliau waktu itu adalah masyarakat yang rusak. Penjahat, begal, perampok, pembunuh berkeliaran di mana-mana, dan secara otomatis, jiwa sehat merupakan barang mahal yang tak setiap orang mampu memilikinya. Atau setidaknya, ancaman untuk mendapatkan hal itu sangat hebat dan sulit dihindari. Dari itu tentunya diperlukan formula jitu untuk menangani ‘krisis ketenangan’ ini.

Sebetulnya berbagai bentuk pertimbangan yang beliau lakukan ini, juga tidak bisa dikatakan sudah lepas seluruhnya dari muatan politik. Sebab pada dasarnya semua itu tertuju pada dua tujuan dasar beliau yakni mencari pendukung guna mempertahankan dan mengembangkan eksistensi kerajaan Demak Islam dan untuk menyebarkan agama Islam itu sendiri  ke seluruh pelosok tanah Jawa. Walau begitu, perlulah diakui bahwa dakwah Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang dan Walisongo sangat hebat. Para wali ternyata sangat piawai dalam mendesain dakwah yang hendak disampaikannya kepada masyarakat Jawa dengan menggunakan berbagai macam sarana dan media dakwah. Dan ini patut kita banggakan dan kita syukuri.

Tetapi agaknya pendapat di atas ditentang mentah-mentah dalam suluk Darmo Gandhul yang ditulis oleh Ki Brajatulis berdasarkan keterangan dari gurunya bernama Raden Budi. Sedangkan saat penulisannya pada tanggal 23, hari sabtu legi, bulan Ruwah, tahun je, Windu sancaya, musim 6, aryang, wuku wukir dengan sengkalan wuk guneng ngesti nata yaitu tahun 1830 J (Siti Maziyah, Warta Pustaka:2005).

Di ceritakan  bahwa sultan Demak yang bernama Raden Patah menyerang kerajaan majapahit karena bujukan Sunan Giri dan Sunan Bonang. Adapun maksud penyerangan itu didorong oleh keinginan mereka untuk membasmi agama Budha di tanah Jawa dan menggantinya dengan agama Islam. Penyerangan terhadap kerajaan Majapahitpun berjalan lancar, sebab Prabu Brawijaya yang notabene merupakan ayah dariRaden Patah, tidak mau berperang dengan anaknya. Di sisi lain Penyerangan ini sangat disesalkan oleh nenek Raden Patah, yakni Nyai Ageng Ampel Gading. Dalam pertemuannya dengan cucunya itu, Nyai Ageng Ampel gading memberikan nasehat kepadanya (Siti Maziyah, Warta Pustaka:2005):

“Ketika mendengar Nyai Ageng menjerit, sang cucu dipeluk erat,”Hai cucu ketahuilah, engkau ini berdosa kepada Tuhan Yang Maha Agung. Dosamu tiga macam, melawan raja, dan atah.”
“Yang berbuat baik memberi anugerah. Kau berani merusak tanpa sebab. Adanya Islam tidak kafir, siapa yang membuat Islam, hanya satu Tuhan Yang Maha Agung, tak boleh dipaksa-paksakan dengan kekerasan berganti agama.

“Jika belum kehendaknya sampai matipun dipertahankan, mempertahankan agamanya, jika telah dikehendakiNya oleh Tuhan, tidak usah disuruhnya, sudah pasti mau sendiri memeluk agama nabi Islam.”

“Tuhan yang bersifat pemurah, tidak menyuruh dan tidak melarang orang berganti agama, terserah manusianya. Tidak memaksa orang kafir yang tidak menurut, tidak menganugerahi orang Islam yang tidak benar.”( Siti Maziyah, Warta Pustaka:2005).

Di lain waktu, setelah mengetahui nasehat Nyai Ageng Ampel Gading ini, Sunan Bonang juga merasa bersalah. Tetapi apa mau dikata, semuanya telah terlanjur. Nasi telah menjadi bubur, dan hanya penyesalanlah yang dapat dilakukan.

Pada pupuh Dhandhanggula, bait 16 disebutkan sebagai berikut: 

Sunan Bonang njetung datan aling, myang sinamur ja kongsi winedhar, kang dadya kaluputane, mring majalangu, ing wusana ngandika aris,..

Terjemahannya:

“Sunan Bonang tertegun tak berkata dan menyembunyikan kesalahannya kepada raja Majapahit itu agar jangan sampai terucapkan atau nampak.”( Siti Maziyah, Warta Pustaka:2005).

Dari cerita di atas mengisyaratkan bahwa Sunan Bonang dan Walisongo terlalu banyak mencampuri urusan politik kerajaan Demak Islam Jawa. Pengaruh mereka atas negara begitu kuat, bahkan pengaruh tersebut terlihat melebihi raja. Hingga akhirnya bisa menentukan siapa yang layak menjadi raja. Demikian pula dalam urusan agama, mereka mempunyai pengaruh yang luar biasa. Adanya perbedaan pendapat atas ajaran agama Islam dan beragama, tidak mendapatkan toleransi oleh mereka. Mengenai hal ini dapat dilihat dari kasus penjatuhan hukuman mati terhadap Syaikh Siti Jenar dengan tuduhan menyebarkan ajaran Wahdatul wujud.

Walisongo termasuk dalam aliran Ahlussunnah yang tegas dan konsekuen menentang bid`ah. Ajaran mereka dalam menolak konsep wahdatul wujud yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang sangat tajam. Mereka juga penganut pola tasawufnya imam Ghazali dengan kitabnya yang cukup terkenal Ihya Ulumudin, Al Anthaki, Abu Yazid Al Busthami, Syaikh Abdul Qadir Jaelani (Budiono Hadi Sutrisno, Grha Pustaka:2007), dan Abu Syalimi ( yang menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf). Melihat ulama-ulama yang menjadi rujukan mereka ini, terlihat bahwa tasawuf ekstrim pada masa Walisongo tidak mempunyai ruang bebas untuk berkembang, bahkan mereka dikucilkan, ditindas, bahkan dibunuh. Sehingga cukup rasional bila terjadi kasus dihukum matinya Syaikh Siti jenar, walau di sisi lain kisah ini masih diragukan keotentikannya. Dan tentunya kasus ini sedikit banyak telah membuktikan komitmen mereka pada penegakan tauhid dan syariah Islam secara sempurna.

Mengapa saya mengatakan bahwa kisah Syaikh Siti jenar masih diragukan keotentikannya, sebab dalam serat Darmo Gandhul sendiri terdapat versi yang berbeda mengenai kisah ini. Diceritakan di dalamnya bahwa sebab dihukum matinya Syaikh Siti Jenar karena beliau tidak menyetujui penyerangan yang dilakukan para Sunan ke majapahit. ( Siti Maziyah, Warta Pustaka:2005).

Menyikapi adanya konflik pendapat yang sangat tegas ini, menunjukkan bahwa metode dakwah Sunan Bonang dan walisongo tidaklah murni dengan ”Mau’idzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan.” Akan tetapi juga tidak seluruhnya memakai kekerasan. Mungkin pada situasi tertentu memakai ”Mau’idzatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan.” Dan pada situasi tertentu lainnya memakai kekerasaan. Tetapi bisa jadi Walisongo memang sengaja memakai metode-metode tertentu sesuai sasaran dakwah mereka. Ini bisa kita lihat di mana mereka memakai metode tadarruj atau tarbiyatul ummah yang dipergunakan sebagai proses pengelompokan yang disesuaikan dengan tahap pendidikan ummat. Metode ini dianggap paling efektif setelah mempertimbangkan berbagai hal, dan agar ajaran Islam dapat dengan mudah diterima, dipahami, dan diamalkan oleh masyarakat Jawa secara merata. Di sini tampak pula metode yang ditempuh Walisongo didasarkan pada pokok pikiran ‘li kulli maqam maqat’, yakni memperhatikan bahwa setiap jenjang dan bakat ada tingkat, bidang materi, dan kurikulumnya.

Namun begitu, tetap saja kasus dihukum matinya Syaikh Siti Jenar masih menjadi bahan perdebatan yang sengit sampai detik ini. Mungkin karena masyarakat menilai kasus ini dari berbagai sisi yang berbeda, ada yang menilai dari sisi kemanusiaan, demokrasi, hak mengeluarkan pendapat, dan ada pula yang menilai dari sisi syariat, dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah, cara berfikir kontekstual, memakai dalil-dalil fakta kekerasan kerajaan islam masa lampau, dan sebagainya. Lalu sekarang pertanyaannya adalah, apakah dakwah sunan Bonang dan Walisongo sesuai dengan metode dakwah Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam.

Syaikh Ali Mahfudz menyatakan, bila hendak mencontoh Rasulullah Shallallaahu `Alaihi wa Sallam, dakwah harus dibina di atas empat dasar pokok , yakni :

  1. Al Huluj Balaghah (alasan yang tepat)
  2. Al Asalibul Hakimah (susunan kata yang dipenuhi hikmah)
  3. Al Adabus Samiyah (Adab ataupun sopan santun yang baik dan mulia),
  4. dan As Siyasatul Hakimah (siasat yang bijak). 
Dari sini sebenarnya terdapat bukti bahwa dakwah yang disampaikan Walisongo juga dibina menurut tuntunan rasul. Adapun bukti-buktinya:
  1. Dalam berdakwah, Sunan Gresik memakai gaya menjauhi konfrontasi. Ini mengingat bahwa sebagian besar masyarakat Jawa waktu itu masih menganut agama Hindu. Dan ternyata metode dakwah beliau ini sangat jitu dan cukup bijak, terbukti di kalangan komunitas Hindu beliau mendapat tempat tersendiri, sehingga beliau cepat terkenal dan mendapat banyak pengikut.
  2. Sunan Gresik berusaha mengislamkan raja kerajaan Majapahit terlebih dahulu sebelum mengislamkan masyarakat awam lainnya. Walau usaha beliau ini gagal akan tetapi ini tentunya merupakan siasat yang bijak dan sekaligus jitu, sebab ini dapat membuka peluang lebar bagi bertambahnya pemeluk Islam di pulau Jawa. Sebab perlu kita ketahui bersama bahwa tradisi Jawa waktu itu sarat dengan kultur ‘patron-client’. Di mana rakyat akan selalu merujuk dan berteladan pada perilaku raja (Budiono Hadi Sutrisno, Grha Pustaka:2007).
  3. Dalam berdakwah Sunan Ampel terkenal memiliki kepekaan adaptasi. Dalam menanamkan akidah dan syariat, beliau sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Selain itu beliau juga dikenal sangat sopan dan tidak memakai kekerasan dalam berdakwah. Sehingga raja Majapahit waktu itu memberikan hadiah kepadanya berupa sepetak tanah di Ampeldenta, Surabaya. (Budiono Hadi Sutrisno, Grha Pustaka:2007).
  4. Walisongo dalam berdakwah seringkali memakai media tembang, suluk Jawa untuk berdakwah. Ini mengindikasikan bahwa Walisongo sangat menguasai betul bidang sastra Jawa yang sarat dengan muatan nasehat, pituduh, piwulang, dan pepeling.
  5. Secara tegas Sunan Drajat mengajarkan kepada murid-muridnya agar tidak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. Harus bersikap sopan terhadap siapapun khususnya kepada orang tua. Petuahnya yang terkenal, “Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren;paring sandang marang kang kawudan;paring payung kang kodanan.”  (Berikan tongkat kepada orang buta;berikan makanan kepada orang yang sedang kelaparan;berikan pakaian kepada orang yang telanjang;dan berikan payung kepada orang yang kehujanan)(Rahimsah, Amanah:2002) dan ’Bapang den simpangi, ana catur mungkur’ (jangan sekali-kali mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu). Sesungguhnya petuah-petuah ini hendak memberikan pelajaran kepada kita agar saling bantu membantu dan menghargai orang lain. Baik dalam bentuk menghormati ataupun membantu setiap kesusahan yang sedang mereka hadapi. Islam sendiri juga menyampaikan petuah mengenai hal ini dalam bentuknya yang lain. Kita dapat melihatnya dalam al-Quran: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).”(Q.S. Al-An`am:68).
  6. Sunan Drajat memperkenalkan dan menyebarkan Islam melalui konsep dakwah bil hikmah, dengan cara-cara bijak yang memungkinkan terciptanya situasi saling menghargai dan tanpa adanya kesan memaksa dan dipaksa.
  7. Walisongo menciptakan kidung-kidung sebagai nyanyian agama. Ini bisa kita lihat dari karya Sunan Bonang yang begitu produktif menciptakan suluk-suluk. Walisongo juga mengubah mantra-mantra menjadi doa-doa yang sesuai dengan Islam. Para wali itu juga membudayakan ungkapan interjeksi untuk peristiwa tertentu. Misalnya ketika terjadi peristiwa kesusahan, kekecewaan, atau kematian, maka membaca Inna lillahi wa inna ilaihi roji`un. La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyil ‘adzim dibaca apabila ada tingkah laku yang tidak baik. Dari sini menunjukkan bahwa para wali memiliki adab sopan santun yang begitu tinggi. Dan mungkin karena melihat dan memperhatikan prestise inilah, masyarakat Jawa tertarik kepada Islam, dan  berbondong-bondong memeluk Islam. Sebaliknya bagi masyarakat yang belum bisa menerima Islam, mereka tidak merasa tertekan, tertindas, dan dikucilkan. Bahkan mereka saling hidup berdampingan dengan rukun. 
  8. Terhadap khawas (orang-orang yang dimuliakan) Walisongo juga menerapkan sopan santun yang sangat tinggi. Diceritakan bahwa Raden Rahmat (Sunan Ampel) menghadap Adipati Arya Damar di Palembang. Dalam peristiwa tersebut beliau berperilaku sangat sopan, halus tutur kata, manis budi, dan tetap tawadu’. 
Di samping mendasarkan argumen secara rasional, mudah diterima akal, dan juga dengan prinsip emosional yang sangat bersesuaian dengan cita-cita manusia, yakni mengetuk hati, maka tidak jarang para wali itu mendasarkan pelaksanaan dakwahnya dengan unik, yaitu dengan dalil argumentasi aksiomatik yang secara otomatis sangat jitu. Misalnya seperti kasus Syaikh Siti Jenar di atas yang dianggap sebagai penyebar bid`ah bahkan sempat dituduh musyrik. Mungkin hukuman ini terpaksa mereka lakukan terhadap Syaikh Siti Jenar sebagai bentuk kehati-hatian mereka dalam berdakwah sebab dianggap sangat berbahaya bagi usaha pengislaman masyarakat jawa.


0 komentar:

Post a Comment