Thursday, December 31, 2015

Filled Under: ,

Hukum Menambahkan Lafal Sayyidina dalam Shalawat Ibrahimiyah

www.majeliswalisongo.com - Bolehkah Menggunakan Kata Sayyidina dalam Shalawat Ibrahimiyah ?  - Hukum Mengucapkan "Sayyidina" dalam Shalawat Ibrahimiyah - Menambahkan Lafal Sayyidina dalam Shalawat - Dalam beberapa artikel saya sebelumnya, saya telah menyinggung beberapa teks shalawat yang merupakan gubahan dari beberapa ulama besar beserta khasiat dari shalawat tersebut sesuai dengan apa yang termaktub dan dijelaskan dalam kitab-kitab, khususnya kitab induk yang saya gunakan adalah Afdhalush Shalawat 'Alaa Sayyidis Saadaat


Diantara shalawat yang telah saya bahas adalah Shalawat Ibrahimiyah beserta Khasiatnya. Namun kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, "Bolehkah memberikan tambahan kata Sayyidina pada shalawat Ibrahimiyah, mengingat hadits yang meriwayatkan tentang shalawat tersebut tidak menggunakan lafal "sayyidina" ? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya tidak akan memberikan pendapat saya secara pribadi akan tetapi akan saya ambilkan dari al-Quran dan pendapat para ulama besar yang tentunya sudah terbukti kualitas keilmuan, keulamaan dan kehebatannya. Dan berikut ini penjelasan dari al-Quran dan pendapat dari para ulama, Syaikh, dan para Imam yang mulia.

Pertama, Penjelasan dalam al-Quran. Dalam al-Quran terdapat perintah yang secara tegas memerintahkan umat islam untuk mengagungkan rasulullah dan memanggilnya dengan panggilan penuh penghormatan. Allah berfirman dalam al-Quran:
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Artinya: “Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (QS.An-Nur : 63).

Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulullah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.

Kedua, Pendapat Imam Ramli dalam kitab Syarhu al-Minhaj. Sebagaimana dijelaskan dalam Afdhalush Shalawat, beliau menjelaskan sebagai berikut:

قال الإمام الشمس الرملي في شرح المنهاج الأفضل الإتيان بلفظ السيادة لأن فيه الإتيان بما أمرنا به وزيادة الأخبار بالواقع الذي هو الأدب فهو أفضل من تركه. وأما حديث لا تسيدوني في الصلاة فباطل لا أصل له. كما قاله بعض متأخري الحفاظ

Artinya: "Imam Ramli dalam kitab Syarhu al-Minhaj berkata, "Yang lebih utama adalah menyertakan lafadz siyadah, karena di dalamnya terkandung pemenuhan terhadap apa yang diperintahkan dan menambah penjelasan sesuai kenyataan yang merupakan tatakrama, dan tatakrama lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan. Adapun hadits yang menyatakan, "Janganlah menambahkan lafadz sayyidina untuk (menyebut nama)ku di dalam shalat, adlah hadist palsu, karena tidak ada dasarnya. Demikianlah para ulama ahli hadits mutaakhirin memberikan pernyataannya."

Ketiga, Pendapat Imam Ahmad Ibn Hajar. Sebagaimana dijelaskan dalam Afdhalush Shalawat bahwasanya Imam Ahmad Ibn Hajar memberikan penjelasan terkait penggunaan lafal sayyidina dalam kitabnya al-Jauhar al-Munazhzham sebagai berikut:

وقال الإمام أحمد بن حجر في الجوهر المنظم وزيادة سيدنا قبل محمد لا بأس به بل هي الأدب في حقه صلى الله عليه وسلم ولو في الصلاة أي الفريضة

Artinya: "Imam Ahmad ibn Hajar telah menyatakan dalam kitabnya yang berjudul Al-Jauhar al-Munazhzham bahwasanya menambahkan lafadz sayyidina sebelum lafadz Muhammad tidak ada salahnya, bahkan itu merupakan tatakrama memperlakukan Rasulullah shallallahu 'Alaihi wa Sallam sekalipun di dalam shalat fardhu."

Keempat, Pendapat Imam Ibn Athaillah. Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya, Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”.

Kelima, Penjelasan dari sahabat Ibnu Mas'ud Radhiyallaahu 'Anhu. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau Shollallaah ‘alaih wa sallam, karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulullah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”

Keenam, Pendapat Al-Allamah Al-Bajuri. Asy-Syaikh al-‘Allamah al-Bajuri dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, menuliskan sebagai berikut:
 
الأوْلَى ذِكْرُ السِّيَادَةِ لأَنّ الأفْضَلَ سُلُوْكُ الأدَبِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ الأوْلَى تَرْكُ السّيَادَةِ إقْتِصَارًا عَلَى الوَارِدِ، وَالمُعْتَمَدُ الأوَّلُ، وَحَدِيْثُ لاَ تُسَوِّدُوْنِي فِي صَلاتِكُمْ بِالوَاوِ لاَ بِاليَاءِ بَاطِلٌ

Artinya:

“Yang lebih utama adalah mengucapkan kata “Sayyid”, karena yang lebih afdlal adalah menjalankan adab. Hal ini berbeda dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa lebih utama meninggalkan kata “Sayyid” dengan alasan mencukupkan di atas yang warid saja. Dan pendapat mu’tamad adalah pendapat yang pertama. Adapun hadits “La Tusawwiduni Fi Shalatikum”, yang seharusnya dengan “waw” (Tusawwiduni) bukan dengan “ya” (Tusayyiduni) adalah hadits yang batil” (Hasyiah al-Bajuri, jilid 1, halaman 156). 

Ketujuh, Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami. Asy-Syaikh al’Allamah Ibn Hajar al-Haitami dalam kitab al-Minhaj al-Qawim, halaman 160, menuliskan sebagai berikut:

وَلاَ بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ، وَخَبَرُ"لاَ تُسَيِّدُوْنِي فِيْ الصَّلاَةِ" ضَعِيْفٌ بَلْ لاَ أَصْلَ لَهُ


Artinya:

“Dan tidak mengapa menambahkan kata “Sayyidina” sebelum Muhammad. Sedangkan hadits yang berbunyi “La Tusyyiduni Fi ash-Shalat” adalah hadits dla'if bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudlu/palsu)”.

Hadits “La Tusayyiduni Fi ash-Shalat” secara tegas digolongkan sebagai hadits palsu atau hadits Maudlu’ karena di dalamnya terdapat kesalahan kaidah kebahasaan yang seringkali distilahkan dengan al-Lahn yang artinya, terdapat kalimat yang ditinjau dari gramatika bahasa Arab adalah sesuatu yang aneh dan asing. Perhatikan kata “Tusayyiduni”. Di dalam bahasa Arab, dasar kata “Sayyid” adalah berasal dari kata “Saada, Yasuudu”, bukan “Saada, Yasiidu”. Dengan demikian bentuk fi’il Muta'addi atau kata kerja yang membutuhkan kepada objek dari “Saada, Yasuudu” ini adalah “Sawwada, Yusawwidu”, dan bukan “Sayyada, Yusayyidu”. Dengan kata lain, -seandainya hadits di atas benar adanya-, maka bukan dengan kata “La Tasayyiduni”, tapi harus dengan kata “La Tusawwiduni”. Inilah yang dimaksud dengan al-Lahn. Sudah barang tentu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak akan pernah menggunakan al-Lahn semacam ini, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan seorang Arab yang sangat fasih (Afshah al-‘Arab).  Bahkan dalam pendapat sebagian ulama, mengucapkan kata “Sayyidina” di depan nama Rasulullah, baik di dalam shalat maupun di luar shalat lebih utama dari pada tidak memakainya. Karena tambahan kata tersebut termasuk penghormatan dan adab terhadap Rasulullah. Dan pendapat ini dinilai sebagai pendapat mu’tamad.

Kesimpulan

Demikianlah kiranya sedikit dari penjelasan seputar penggunaan lafal "sayyidina" yang ternyata dapat disimpulkan bahwa penggunaan lafal sayyidina dalam shalawat sangat diperbolehkan dan bahkan utama untuk menggunakannya baik di dalam shalat maupun di luar shalat, mengingat Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam merupakan sebaik-baik makhluk Allah dan kita diperintahkan untuk memuliakannya dengan pemuliaan yang sesempurna mungkin. Dan penggunaan lafal "sayyidina" merupakan salah satu dari sekian cara yang dapat digunakan untuk memuliakan beliau. Semoga bermanfaat.

Baca Pula:
  1. Shalawat Ibrahimiyah beserta Khasiatnya
  2. Kupas Tuntas Hukum Maulid Nabi
  3. Amalan Mujahadah Ya Syakuur 1000 kali



25 komentar:

  1. Saya jg suka pake sayyidina, udah kebiasaan dr kecil

    ReplyDelete
  2. dulu saya pake sayyidina dalam shalat..

    ReplyDelete
  3. Aku biasanya juga pakai ini, tapi karena kebiasaan yang diajarkan Abah. Ternyata ada hukumnya juga tho. Baru tau. :)

    ReplyDelete
  4. jadi begitu ya mas. Jadi melek saya mas

    ReplyDelete
  5. sangat lngkap pembahasanya kang, isin buat referensi kang, banyak kesalahan paham masalah ini :)

    ReplyDelete
  6. Kalau ane masih umat umatan mas , kadang pake' kadang juga enggak..
    ya itu tadi alasanya...
    Tapi sekarang lebih sering tidak pake' nya sih :D Hehehe

    ReplyDelete
  7. banyak hukum dan penjelasan dalam islam, kudu dipahami nih ya mas, hehehe

    ReplyDelete
  8. Saya lebih marem kalau pakai sayyidina, tanpa sayyidina saya merasa kalau saya tidak sopan kapada Nabi Muhammad dan Ibrahim.

    Saya juga ada ijazah dari guru , hadiah fatihah buat sahabat Ali Ra, juga di tambah sayyidina.



    ReplyDelete
    Replies
    1. shalawat ibrahimiyah dulu sy gunakan untuk maskawin...jdi maskawinnya baca shalawat ibrahimiyah 11 kali :D

      Delete
  9. Mas ada shalawat Masyisyiah tidak, saya sudah lupa :) sama shalawat ismul a'dzaam

    ReplyDelete
  10. benar mas...Allah sngat menekankan untuk menghormati nabi dengan penghormatan yng semestinya

    ReplyDelete
  11. Selama ini saya pake sayyidina. Alhamdulillah udah bener ya.. :)

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah,... lewat majelis ini begitu banyak ilmu2 agama yg bermanfaat yang saya dapat. Menambah wawasan sekaligus amalan. Mohon ijin dan doanya selalu dari Kang Zeer yang telah sudi berbagi. Terima kasih banyak. Semoga menjadi amal jariyah yg terus mengalir pahalanya buat akang selamanya. Amin yaa robbal alamin. Eko sekeluarga.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah,... lewat majelis ini begitu banyak ilmu2 agama yg bermanfaat yang saya dapat. Menambah wawasan sekaligus amalan. Mohon ijin dan doanya selalu dari Kang Zeer yang telah sudi berbagi. Terima kasih banyak. Semoga menjadi amal jariyah yg terus mengalir pahalanya buat akang selamanya. Amin yaa robbal alamin. Eko sekeluarga.

    ReplyDelete