Friday, December 4, 2015

Filled Under:

Pengertian Muatabah dalam Ilmu Tasawuf

www.majeliswalisongo.com - Pengertian Muatabah dalam Ilmu Tasawuf - Pengertian Taubat dalam Tasawuf - Dari segi bahasa, muatabah berasal dari kata "taba" yang karena pengaruh perubahan bentuk bis menjdi kata 'inabah' atau 'muatabah'. Kata ini memiliki arti penyesalan. Secara lughawi kata ini bisa dilihat pengertiannya dalam dua kitab karangan imam Ghazali, yaitu dalam kitab Iha' Ulumiddin dan kitab Raudhah yang menerangkan sebagai berikut: Taubat atau muatabah adalah meninggalkan dosa-dosa seketika dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Atau taubat adalah kembali dari maksiat menuju taat.Kembali dari jalan yang jauh menuju jalan yang dekat. Dengan demikian orang yang bertaubat adalah orang yang berhenti melanggar larangan-larangan Allah dan kembali untuk melakukan perintahNya. Berhenti berbuat maksiat dan patuh serta mencintai Allah. Berhenti melakukan hal-hal yang dibenci Allah dan berusaha menjalani apa yang diridhai dan disenangiNya. Dan ia merasa sedih hati atas dosa-dosa yang pernah dilakukannya. 
Pengertian Muatabah dalam Ilmu Tasawuf
Pengertian Muatabah dalam Ilmu Tasawuf

Taubat menimbulkan perasaan duka cita yang ternyuh dalam lubuk hati, mengganggu tidurnya, menumbuhkan rasa penyesalan yang mendalam dan membangkitkan semangat yang bulat untuk melepaskan noda dan dosa yang pernah dilakukannya dan bertekad untuk memulai kehidupan yang lebih baik. Taubat yang dalam pengertian yang demikian tidak sama dengan pengertian 'kapok lombok' dalam istilah jawa, yang hanya menimbulkan perasaan penyesalan sesaat atau rasa jera yang sementara yang pada kesempatan lain akan mengulangi perbuatannya lagi. Allah berfirman dalam Al-Quran:

يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا تُوْبوُا اِلَي اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha (semurni-murninya)." (Q.S. At-Tahrim: 8).

Yang dimaksud dengan taubt nasuha di sini adalah taubat yang sesungguhnya, yang bukan hanya terucap di lisan disertai dengan pengucapan lafadz istighfar sebagai tanda penesalan tetapi yang lebih penting dari itu adalah suatu upaya untuk menjauhi dan tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan untuk kedua kalinya apalagi berkali-kali. Berpijak dari masalah taubat yang seperti itulah maka Imam Ghazali menetapkan ada empat perkara yang menjadi rukun taubat, yaitu pengetahuan, sesal, niat dan meninggalkan. Selanjutnya menurut para ahli tasawuf, taubat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
  1. Taubat yang dilakukan secara umum yang dilakukan bila seseorang telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah digariskan oleh Agama. Taubat ini barangkali bisa disebut  taubatul 'am atau taubat secara umu. Taubat pada tingkatan pertama ini mempunyai pengertian secara umum, yaitu lari dari maksiat kepada taat semata-mata karena takut akan murka dan siksaNya. Taubat ini adalah taubat orang-orang yang beriman, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah yang artinya: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung." (Q.S. An-Nuur: 31).
  2. Inabah. Yitu kembali dari yang baik menuju kepada yang lebih baik, demi memohon keridhaan Allah. Taubat pada tingkatan yang kedua ini akan senantiasa menimbulkan upaya untuk meningkatkan kualitas dan mutu ibadah seseorang menuju pada tingkatan yang akhir, yaitu kesempurnaan. Taubat pada tingkat kedua ini pula yang didasari oleh perasaan bahwa ibadah yang selama ini dilakukan masih jauh dari kesempurnaan dan masih kurang, dan kekurangan ini dianggap sebagai satu kesalahan yang melandasi upaya pertaubatan. Taubat pada tingkat kedua inilah yang menjadi salah satu sifat para sufi yang mengajak dari hal satu menuju pada hal yang lain. Hal ini difirmankan oleh Allah ta'ala yang artinya: "Inilah yang dijanjikan kepadamu (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang dia kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat." (Q.S. Qaf: 32-33).
  3. Taubatur Rasul, yaitu pertaubatan yang dilakukan oleh para nabi dan Rasul. Taubat pada tingkatan ini tidak dimaksudkan untuk mengharapkan pahala apalagi karena takut akan iksa. Bukankah nabi dan Rasul adalah manusia-manusia maksum, yang dijaga dari dosa.
Taubat di kalangan orang-orang awam mungkin disikapi sebagai upaya permintaan maaf oleh seorang pendosa besar saja. Dengan demikian tidak menjadi satu kewajiban bertaubat bagi orang-orang yang secara rutin telah melakukan ibadah-ibadah wajib dan berupaya menghindari diri dari larangan agama. Istilah taubat hanya wajib bagi mereka yang tingkat kebejatan moralnya sudah tinggi, sedangkan bagi mereka yang tidak pernah melakukan dosa-dosa besa, taubat tidak dipandang sebagai satu kewajiban mutlak. Apakah pandangan ini sama dengan pandangan yang ada dalam ajaran ilmu tasawuf ? tidak, yang jelas dalam pandangan kaum sufi taubat adalah merupakan kewajiban mutlak bagi setiap manusia. Mengapa demikian ? setidak-tidaknya ada beberapa alasan mewajibkan setiap muslim harus bertaubat, yaitu:
  1. Ayat-ayat al-Quran berikut ini menunjukkan bahwa setiap muslim harus bertaubat. diantaranya yaitu: "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." (Q.S. An-Nuur: 31). Dan firman Allah: "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya." (Q.S. At-Tahrim: 8). Dan firman Allah: "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat." (Q.S. Al-Baqarah: 222).
  2. Karena secara hakiki manusia adalah makhluk lemah yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan, daya upaya sehingga manusia tidak bisa terhindar dan terlepaas dari salah dan dosa. Manusia adalah makhluk tempat salah dan dosa. Dan dosa yang dilakukannya itu boleh jadi atas dasar kesengajaan atau sebaliknya, tidak disengaja. Unsur kesengajaan dalam emlakukan perbuatan dosa, permasalahannya mungkin sudah jelas. Tapi unsur ketidaksengajaan dalam melakukan dosa inilah yang terkadang manusia sulit untuk menghindarinya. Bagi kalangan sufi, dosa tidak hanya berarti menerjang berbagai macam larangan-larangan yang telah digariskan agama, atau lari meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan terhadap manusia, tetapi dosa boleh jadi dilakukan oleh otak karena pikiran-pikiran kotornya, atau dilakukan oleh hati lantaran mempunyai kehendak sesuatu selain Allah. Bahkan pada tingkat-tingkat tertentu, bila hati melewatkan masa sedetik saja tidak ingat kepada Allah, maka itu adalah satu dosa bagi kalangan sufi.
  3. Pendekatan diri kepada Allah, yang dimulai dengan upaya penghapusan dosa dalam pertaubatan. Alasan ketiga yang melatarbelakangi kewajiban bertaubat bagi kalangan sufi ini sebenarnya dilandasi oleh satu ajaran bahwa tujuan akhir dari hidup adalah Allah. Oleh karena dalam hidup mempunyai tujuan akhir, yaitu Allah, maka upaya untuk mendekatkan diri kepada Nya adalah satu kemestian yang harus dilakukan. Sementara itu dalam pandangan kaum sufi unsur diri manusia terpenting dalam pendekatan diri kepada Allah terletak dalam jiwanya. Jiwa harus bersih ketika mau mendekatkan diri kepada Allah, sebab Dia hanya bisa membersihkan dan penyucian jiwa adalah dengan penghapusan dosa. Mengapa ?Sebab dosa sesungguhnya adalah merupakan barang najis yang bisa mengotori dan menodai kesucian jiwa.
 Dalam ajaran ilmu tasawuf, sebagaimana yang pernah ditulis oleh imam Ghazali, hati sebenarnya bisa diibaratkan sebagai kaca cermin yang bisa memantulkan cahaya Allah (nur Allah). Sebagai perumpamaan antara kaca cermin dengan cahya, maka sudah barang tentu sebuah kaca cermin hanya bisa memantulkan satu cahaya yang menimpa padanya jika kaca cermin tersebut dalam kondisi bersih dan mengkilap yang tidak dipenuhi oleh debu-debu kotoran yang bisa menghalang-halangi semburat pantulan cahaya tersebut. Perumpamaan kaum sufi, debu-debu yang melekat dan membuat buram kaca cermin adalah sebagai ibarat dari perbuatan dosa. Sekali seorang manusia melakukan satu perbuatan dosa, maka secara tidak sadar namun pasti seorang tersebut telah membuat satu titik noda hitam yang melekat dalam hatinya. Hingga seterusnya, semakin banyak perbuatan dosa yang dilakukan oleh seorang manusia, maka semakin banyak pula bintik-bintik noda hitam yang melekat dalam hatinya, yang sampai pada batas akhir hati yang sejak semula dalam kondisi bersih kini pun berubah menjadi hitam yang kotor dipenuhi oleh noda-noda dosa. Demikianlah sedikit mengenai keadaan hati kita yang perlu kita ketahui. Semoga bermanfaat.


12 komentar:

  1. izin mengamalkan ya kang, lengkap banget penjelasannya ini :)

    ReplyDelete
  2. Sangat menarik sekali mang,,, kalau semisal kita udah tobat dan berjanji sama Allah untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut tapi dikemudian hari kita menghulanginya,,,, itu gimana yah ??? katanya ada yang bilang kudu dibayar pake puasa.. ????

    ReplyDelete
    Replies
    1. tdk ada keharusan untuk membayar dg puasa mas...ya, cuma jadinya masih dipertanyaan keseriusan dlm taubatnya :)

      Delete
  3. Astaghfirullah. :( Merasa banyak dosa. :(

    ReplyDelete
  4. ngaji lagi jadi tambah wawasan pak ustadz

    ReplyDelete
  5. Semoga saya termasuk hamba yang senantiasa bertaubat kepada Allah

    ReplyDelete
  6. Sangat super membuka wawasan baru, ijin nyimak. Adakah di disini terjemahan kitab ihya ulumudin?

    ReplyDelete
  7. Sangat super membuka wawasan baru, ijin nyimak. Adakah di disini terjemahan kitab ihya ulumudin?

    ReplyDelete