Saturday, November 7, 2015

Filled Under:

Al-Hikam: Cara Menyikapi Antara Keinginan dengan Takdir Allah

Cara Menyikapi Antara Keinginan dengan Takdir Tuhan - Dalam kitab Al-Hikam, Syaikh Ahmad Athaillah As-Sakandari memberikan sebuah nasihat berharga sebagai berikut:
سَوَابِقُ الهِمَمِ لَا تَخْرُقُ اَسْوَارَ الأَقْدَارِ
Artinya: "Himmah atau kuatnya kemauan yang bergelora, tidak mampu mengoyak tabir takdir Allah.
Al-Hikam: Cara Menyikapi Antara Keinginan dengan Takdir Allah

Kemauan keras termasuk suatu kekuatan yang dimiliki manusia atas izin Allah untuk memperoleh sesuatu yang dicari dalam kehidupan duniawi. Kemauan keras ini adalah pendorong untuk memperoleh suatu yang dicita-citakannya. Namun demikian, semangat dan cita-cita hamba Allah tetap memiliki koridor yang telah ditentukan, dan tetap berkaitan erat dengan iradah dan izin Allah ta'ala (takdir Allah). Sehingga pada akhirnya segala kekuatan yang dimiliki manusia itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan takdir Allah. Karena cita-cita yang keras dan bersemangat tidak akan mampu menerobos takdir atau ketetapan dari Allah. (Baca: Ngaji Al-Hikam: Maqam Tajrid dan Maqam Asbab).

Akan tetapi, dalam banyak hal, ketika seseorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan, maka kemauan keras itu hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang memenuhi seluruh kalbunya. Karena iman inilah yang akan mengatur himmah yang dimiliki seseorang. Apakah ia tunduk kepada takdir Allah ketika ia telah melaksanakan panggilan himmah-Nya ataukah ia menolak. Apabila ia menerima qadha dan qadar Allah setelah ia berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, maka itulah iman yang sesungguhnya. 

Menerima qadha dan qadar Allah membuat orang beriman menjadi tenang. Ia tidak putus asa dan tidak menyesali dirinya. Ia pun tidak berprasangka buruk kepada Allah dan kepada manusia. Kehendak Allah itulah yang akan berlaku dalam perjalanan hidup manusia. Kemauan dan cita-cita yang bergelora, tidak mampu menghancurkan qadha dan qadar Allah. 

Manusia berada di antara ikhtiar dan qadha serta qadar Allah. Berlomba mengejar takdir dengan ikhtiar dan doa. Hanya Allah yang Maha Mengetahui nasib manusia dan menentukan hasilnya. Apa yang diperoleh manusia setelah ikhtiar dan berdoa itulah takdir yang sebenarnya.

Takdir Allah adalah masalah gaib. Hanya Allah semata yang mengetahuinya. Dalam hal ini Allah berfirman, "Dan di sisinyalah alam gaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia (Allah) sendiri." (Q.S. Al-An'am: 59).

Semua peristiwa hidup ini berjalan di atas rencana dan program Allah. tdak akan terjadi apa pun di bumi, semuanya adalah atas kehendak Allah ta'ala belaka. Al-Quran mengatakan lagi bahwa tidak akan terjadi segala sesuatu, kecuali sesuai dengan kehendak Allah. 

Takdri adalah ketentuan akhir dari Allah untuk manusia. Apabila Allah telah menetapkan takdir itu, maka tak seorang pun yang mampu menolak, ataupun menundanya. Manusia tidak dapat mengandalkan angan-angannya untuk menjangkau kehendak dan cita-citanya. Sebab setelah ikhtiar manusia akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Itulah takdir Allah. Kemuliaan ibadah seorang hamba adalah pada keadaan akhir, ketika ia dengan ikhlas menerima ketentuan Allah. Demikian juga halnya tentang rizki yang telah ditentukan pembagiannya oleh Allah.

Sayyid Hasan Asy-Syadzili dalam kitab At-Tanwir fi isqati Tadbir menulis, "Sesuatu yang telah dijamin oleh Allah atas rizki hamba-hambaNya tak seorang pun mampu mencegahnya. Seperti telah dijelaskan oleh Syaikh Ahmad Athaillah, bahwasanya seorang hamba hendaklah tekun kepada apa yang telah dijaminkan Allah kepadanya dan mampu menjadikannya sebagai ibadah. Sedangkan orang yang tidak istiqamah adalah orang yang lalai terhadap apa yang telah dijaminkan oleh Allah untuknya.

Allah berfirman dalam al-Quran:

"Kamu tidak dapat berbuat menurut kehendakmu, kecuali telah dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Q.S. Al-Insan: 30).

Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu dihimpun pembentukannya dalam rahim ibunya empat puluh hari berupa nutfah, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama waktu itu juga, kemudian Allah mengutus Malaikat kepadanya. Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya, lalu ditetapkan pada dirinya empat kalimat. 1 Ditetapkan rizkinya, 2. Ditetapkan ajalnya. 3. Ditetapkan pekerjaannya dan, 4. Ditetapkan nasib bahagia atau susah." (HR. Bukhari).

Di atas empat perkara tersebut Allah telah menciptakan rahmat sebagai anugerah baginya atas semesta alam, terbagi untuk semua makhluk. Rahmat dan kasih sayang Allah itu tidak padang siapa dan apapun melihat beraneka ragam pemberian dan karunia. Rahmat Allah itu tidak terbatas, berjalan sepanjang hidup manusia dan selama berkembangnya dunia ini.

Allah berfirman dalam Al-Quran, "Tiada satu makhluk melatapun di muka bumi ini, kecuali telah disediakan Allah rizki untuknya." (Q.S. Hud: 6).




4 komentar:

  1. tata kelola hati dalam menyikapi sebuah takdir dan keinginan tentu penting agar kita selalu mendapatkan hikmah dan berkah-Nya

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar bang ci...nasihat ibnu athaillah dlm al-hikam ini adalah untuk menunjukkan bagaimana cara mengelola hati agar senantiasa sadar terhadap sangkan paraning dumadi.... :D

      Delete
  2. Apakah takdir dari Allah itu bisa kita rubah dengan do'a kang? soalnya banyak do'a yang disarankan supaya sukses, supaya selamat dari marabahaya dll

    ReplyDelete
    Replies
    1. perdebatan dan perbedaan pemahaman tentang takdir dari dulu sampai sekarang memang tidak pernah habis... namun Menurut ulama ahlus sunnah, takdir itu dibagi menjadi 2, ada takdir muallaq dan takdir mubram...Takdir muallaq masih bisa dirubah dengan izin Allah sedangkan takdir mubram merupakan ketentuan Allah sejak zaman Azali dan tidak dapat dirubah....

      Delete